Sunday, April 5, 2015

Meneguhkan Ketauhidan Di Tengah Arus Kehidupan Sekuler

Bagaimana Cara Kita Meneguhkan Ketauhidan?

oleh:
DR. Mohammad Damami, M. Ag

Istilah "sekuler" berasal dari kata Latin,"saeculum" yang berarti "a generation, age", sebuah generasi, zaman (lihat: Webster's New Twentieth Century Dictionary Unabridged, 1979, halaman 1641). Dalam perkembangannya, istilah tersebut mengerucut menjadi sebuah istilah yang muatannya bersangkutan dengan masalah "dunia" atau hal-hal bendawi yang tidak berkaitan dengan masalah spiritualikerohanian atau hal-hal yang sifatnya "suci"(sacred) (lihat: Ibid.). Tegasnya, hal-hal yang hanya bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian (lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, halaman 1015).
Dengan demikian, yang dimaksud istilah "kehidupan sekuler" di sini adalah kehidupan yang diselimuti serba duniawi, serba kebendaan, serba kebutuhan hidup yang sifatnya hanya fisik. Pada intinya, yang terkandung dalam kehidupan sekuler itu adalah tuntutan hidup yang senantiasa diorientasikan atau dikaitkaitkan secara melekat pada tuntutan yang bersifat ekonomi. Umat Islam Nusantara khususnya, bangsa Indonesia umumnya, dalam kesejarahannya telah mengalami pahitnya kehidupan akibat dari keserakahan yang sifatnya ekonomis ini. Umat Islam Nusantara pemah mengalami zaman kolonialisme dan sekaligus imperialisme sejak kedatangan pelaut Belanda, Cornelis deHoutman di Banten (tahun 1596) sampai diproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Indonesia (17 Agustus 1945), yang oleh DR (HC) Ir Sukarno dihitung 350 tahun lamanya. Negeri Nusantara pernah direbut dan diaku wilayah teritorialnya oleh Belanda (karena itu disebut dikolonialisasi) dan sekaligus dikuasai secara penuh pengelolaannya, baik di bidang kekayaan maupun pengaturan masyarakatnya (karena itu disebut imperialisasi).
Kolonialisme dan imperialisme merupakan wujud konkret dari berlebih-lebihannya orientasi hidup kebendaan atau duniawi di atas. Karena itu, sifat keserakahan, kelobaan, dan ketamakan menjadi watak yang cukup membekas dalam masyarakat. Masyarakat yang terjajah akibat kolonialisasi dan imperialisasi menjadi trauma dari satu segi, namun dari segilain justru mendambakan hidup duniawi yang serba melimpah. Sayangnya dambaan hidup semacam itu melahirkan sifat-sifat yang kurang baik, seperti ingin serba cepat untuk meraih sesuatu. Maka muncullah kesukaan hidup menerabas, tidak menurut tahapan-tahapan secara teratur, ingin serba instant (seketika), menyuap, menyogok, korupsi, dan sebagainya. Jadi, terjadi kondisi yang serba paradoks. Di satu sisi trauma terhadap penderitaan tersebab penjajahan, sepertikemiskinan, kesengsaraan, ketertekanan, kehilangan hak, kehilangan kebebasan, dan sebagainya, namun di sisi lain justru timbul kecenderungan untuk haus harta benda, haus kekayaan melimpah, berkebebasan tak terkendali, haus kekuasaan, dan sebagainya. Sifat yang berwajah paradoks (kesebalikan) seperti ini sangat terlihat jelas pada saat ini.
Zaman globalisasi saat ini, yang lagi-lagi latar belakangnya juga bertumpu pada keserakahan ekonomis pada intinya, tampaknya membuat sifat paradoks tersebut makin sulit dieliminasi atau dilenyapkan. Bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang sifat paradoks semacam itu? Garapan Al-Qur'an adalah "manusia", bukan makhluk yang lain di planet bumi yang satu-satunya ini. Sebab, apa saja yang menjadi isi planet bumi ini, seluruhnya untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah [2j: 29). Benda mati (beku, cair, gas, eter), benda tumbuh (tumbuh-tumbuhan), dan benda hidup (hewan, binatang), seluruhnya untuk kepentingan manusia. Karena itu yang justru penting adalah mengendalikan manusia nya. Sementara itu dalam diri manusia ada faktor "nafs" yang salah satu pengertiannya adalah "dorongan hawa nafsu"(An-Nazi'at[79): 40).
Dorongan hawa nafsu y ang bekerja pada diri manusia tersebut sungguh senantiasa mendorong manusia untuk berbuat buruk (Yusuf [12): 53). Misalnya mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan Allah SwT. Bahkan, sampai ada orang yang justru menyembah atau taat mati-matian terhadap hawa nafsunya, atau dengan kata lain telah mempertuhan terhadap hawa nafsunya. Orang semacam itu, oleh Al-Qur'an disebut orang yang tidak mau menggunakan pendengaran (telinga) untuk mendengar nasihat kebenaran dan tidak mau menggunakan kemampuan akalnya yang menalar dan merenungkan kebenaran, yang karena itu orang tersebut bagaikan bewan ternak, atau malahan lebih sesat daripada itu (Al-Furqan [25]: 43-44).
Secara normatif Al-Qur'an menyatakan, bahwa agar seseorang tidak dikendalikan oleh "nafs"(hawa nafsu) seperti tersebut di atas, maka satu-satunya cara untuk melepaskannya adalah dengan "dzikir" (ingat) kepada Allah SwT. Dan "ghaflah" (lalai, abai, lupa) kepada Allah SwT merupakan kondisi rohani yang kelewatan (Al-Kahfi [18): 28). Orang hatinya tergetar dan senantiasa ingat kepada Allah SwT ialah sebagai tanda dia adalah orang beriman. Tauhid, atau keyakinan penuh terhadap Allah SwT yang Maha Tunggal, akan mampu membuat jarak yang signifikan terhadap keinginan duniawi yang berlebih-lebihan itu. Sebaliknya, siapa orang yang lebih dekat hatinya pada hawa nafsunya (nafs), maka dia akan makin tergulung oleh lumpur keinginan duniawi tersebut.
Orang beriman, bertauhid, dia telah berusaha untuk menarik dirinya "ke atas" agar terkendali dari daya tarik hawa nafsu. Sebaliknya, jika dzikir kepada Tuhan Yang Maha Tunggallemah, maka menguatlah daya tarik (gravitasi) untuk masuk lumpur hawa nafsu. Kehidupan sekuler ini sangat kuat tarikan gravitasi hawa nafsunya. Karena itu penguatan iman, dzikir, lewat ibadah mahdlah, seperti shalat yang berintikan dzikr" menjadi sangat penting di tengah-tengah kehidupan sekuler tersebut (Thaha [20}: 14). Wallaahu a'lam bishshawaab.*

Sumber : Muhammadiyah

No comments:

Post a Comment