Bagaimana Cara Kita Meneguhkan Ketauhidan?
oleh:
DR. Mohammad Damami, M. Ag
Istilah
"sekuler" berasal dari kata Latin,"saeculum" yang berarti "a
generation, age", sebuah generasi, zaman (lihat: Webster's New Twentieth
Century Dictionary Unabridged, 1979, halaman 1641). Dalam
perkembangannya, istilah tersebut mengerucut menjadi sebuah istilah yang
muatannya bersangkutan dengan masalah "dunia" atau hal-hal bendawi yang
tidak berkaitan dengan masalah spiritualikerohanian atau hal-hal yang
sifatnya "suci"(sacred) (lihat: Ibid.). Tegasnya, hal-hal yang hanya
bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau
kerohanian (lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, halaman 1015).
Dengan
demikian, yang dimaksud istilah "kehidupan sekuler" di sini adalah
kehidupan yang diselimuti serba duniawi, serba kebendaan, serba
kebutuhan hidup yang sifatnya hanya fisik. Pada intinya, yang terkandung
dalam kehidupan sekuler itu adalah tuntutan hidup yang senantiasa
diorientasikan atau dikaitkaitkan secara melekat pada tuntutan yang
bersifat ekonomi. Umat Islam Nusantara khususnya, bangsa Indonesia
umumnya, dalam kesejarahannya telah mengalami pahitnya kehidupan akibat
dari keserakahan yang sifatnya ekonomis ini. Umat Islam Nusantara pemah
mengalami zaman kolonialisme dan sekaligus imperialisme sejak kedatangan
pelaut Belanda, Cornelis deHoutman di Banten (tahun 1596) sampai
diproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Indonesia (17 Agustus 1945),
yang oleh DR (HC) Ir Sukarno dihitung 350 tahun lamanya. Negeri
Nusantara pernah direbut dan diaku wilayah teritorialnya oleh Belanda
(karena itu disebut dikolonialisasi) dan sekaligus dikuasai secara penuh
pengelolaannya, baik di bidang kekayaan maupun pengaturan masyarakatnya
(karena itu disebut imperialisasi).
Kolonialisme
dan imperialisme merupakan wujud konkret dari berlebih-lebihannya
orientasi hidup kebendaan atau duniawi di atas. Karena itu, sifat
keserakahan, kelobaan, dan ketamakan menjadi watak yang cukup membekas
dalam masyarakat. Masyarakat yang terjajah akibat kolonialisasi dan
imperialisasi menjadi trauma dari satu segi, namun dari segilain justru
mendambakan hidup duniawi yang serba melimpah. Sayangnya dambaan hidup
semacam itu melahirkan sifat-sifat yang kurang baik, seperti ingin serba
cepat untuk meraih sesuatu. Maka muncullah kesukaan hidup menerabas,
tidak menurut tahapan-tahapan secara teratur, ingin serba instant
(seketika), menyuap, menyogok, korupsi, dan sebagainya. Jadi, terjadi
kondisi yang serba paradoks. Di satu sisi trauma terhadap penderitaan
tersebab penjajahan, sepertikemiskinan, kesengsaraan, ketertekanan,
kehilangan hak, kehilangan kebebasan, dan sebagainya, namun di sisi lain
justru timbul kecenderungan untuk haus harta benda, haus kekayaan
melimpah, berkebebasan tak terkendali, haus kekuasaan, dan sebagainya.
Sifat yang berwajah paradoks (kesebalikan) seperti ini sangat terlihat
jelas pada saat ini.
Zaman
globalisasi saat ini, yang lagi-lagi latar belakangnya juga bertumpu
pada keserakahan ekonomis pada intinya, tampaknya membuat sifat paradoks
tersebut makin sulit dieliminasi atau dilenyapkan. Bagaimana Al-Qur'an
berbicara tentang sifat paradoks semacam itu? Garapan Al-Qur'an adalah
"manusia", bukan makhluk yang lain di planet bumi yang satu-satunya ini.
Sebab, apa saja yang menjadi isi planet bumi ini, seluruhnya untuk
kepentingan manusia (Al-Baqarah [2j: 29). Benda mati (beku, cair, gas,
eter), benda tumbuh (tumbuh-tumbuhan), dan benda hidup (hewan,
binatang), seluruhnya untuk kepentingan manusia. Karena itu yang justru
penting adalah mengendalikan manusia nya. Sementara itu dalam diri
manusia ada faktor "nafs" yang salah satu pengertiannya adalah "dorongan
hawa nafsu"(An-Nazi'at[79): 40).
Dorongan
hawa nafsu y ang bekerja pada diri manusia tersebut sungguh senantiasa
mendorong manusia untuk berbuat buruk (Yusuf [12): 53). Misalnya
mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan Allah SwT. Bahkan,
sampai ada orang yang justru menyembah atau taat mati-matian terhadap
hawa nafsunya, atau dengan kata lain telah mempertuhan terhadap hawa
nafsunya. Orang semacam itu, oleh Al-Qur'an disebut orang yang tidak mau
menggunakan pendengaran (telinga) untuk mendengar nasihat kebenaran dan
tidak mau menggunakan kemampuan akalnya yang menalar dan merenungkan
kebenaran, yang karena itu orang tersebut bagaikan bewan ternak, atau
malahan lebih sesat daripada itu (Al-Furqan [25]: 43-44).
Secara
normatif Al-Qur'an menyatakan, bahwa agar seseorang tidak dikendalikan
oleh "nafs"(hawa nafsu) seperti tersebut di atas, maka satu-satunya cara
untuk melepaskannya adalah dengan "dzikir" (ingat) kepada Allah SwT.
Dan "ghaflah" (lalai, abai, lupa) kepada Allah SwT merupakan kondisi
rohani yang kelewatan (Al-Kahfi [18): 28). Orang hatinya tergetar dan
senantiasa ingat kepada Allah SwT ialah sebagai tanda dia adalah orang
beriman. Tauhid, atau keyakinan penuh terhadap Allah SwT yang Maha
Tunggal, akan mampu membuat jarak yang signifikan terhadap keinginan
duniawi yang berlebih-lebihan itu. Sebaliknya, siapa orang yang lebih
dekat hatinya pada hawa nafsunya (nafs), maka dia akan makin tergulung
oleh lumpur keinginan duniawi tersebut.
Orang
beriman, bertauhid, dia telah berusaha untuk menarik dirinya "ke atas"
agar terkendali dari daya tarik hawa nafsu. Sebaliknya, jika dzikir
kepada Tuhan Yang Maha Tunggallemah, maka menguatlah daya tarik
(gravitasi) untuk masuk lumpur hawa nafsu. Kehidupan sekuler ini sangat
kuat tarikan gravitasi hawa nafsunya. Karena itu penguatan iman, dzikir,
lewat ibadah mahdlah, seperti shalat yang berintikan dzikr" menjadi
sangat penting di tengah-tengah kehidupan sekuler tersebut (Thaha [20}:
14). Wallaahu a'lam bishshawaab.*
Sumber : Muhammadiyah
0 komentar:
Post a Comment