Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Showing posts with label Aqidah. Show all posts
Showing posts with label Aqidah. Show all posts

Apakah Semua Bid'ah itu dilarang?

Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”

Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya:
1.Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi saw. : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.

ISLAM ITULAH NAMANYA

MENGAPA AGAMA INI DINAMAKAN ISLAM???

 

Ada pun bermacam-macam agama yang ada di muka bumi ini memperoleh namanya masing-masing
ada kalanya dibangsakan kepada nama seorang lelaki yang khas, atau kepada ummat yang tertentu
yang menumbuhkan dan menyuburkan agama yang berkenaan. Agama Masehi misalnya mengambil
namanya daripada A1-Masih ‘a.s. Agama Budha di ambil daripada nama pembawanya, Gautama
Budha. Dan agama Zarathustra dimasyhurkan demikian kerana pendirinya dan pembawa panjipanjinya
bernama Zarathustra. Demikian juga agama Yahudi muncul di atas pangkuan suatu kabilah
yang dikenal dengan nama kabilah Yahuda, maka agama itupun dinamai Yahudi. Demikian
seterusnya.

Berlainan dengan agama Islam. Ia tidak dibangsakan kepada seorang lelaki yang khas dan tidak
kepada ummat yang tertentu. Nama Islam itu menunjukkan sifat yang khas yang dikandung oleh
makna perkataan “Islam” itu sendiri. Nyatanya, nama ini tidak menunjukkan pembawa dan
pengasasnya yaitu seorang lelaki di antara manusia. Ia bukan khas bagi ummat yang tertentu
melainkan seluruh bangsa-bangsa. Ia mempunyai matlamat untuk menghiasi seluruh penduduk bumi
ini dengan sifat Islam. Siapa saja yang bersifat dengan sifat ini, baik manusia zaman lampau atau
manusia masa kini, ia adalah Muslim: juga orang yang berhias dengannya pada masa depan adalah
seorang Muslim.

Dikutip dari e-book Asas-Asas Islam karya Abu’l A’la Al-Maududi

Meneguhkan Ketauhidan Di Tengah Arus Kehidupan Sekuler

Bagaimana Cara Kita Meneguhkan Ketauhidan?

oleh:
DR. Mohammad Damami, M. Ag

Istilah "sekuler" berasal dari kata Latin,"saeculum" yang berarti "a generation, age", sebuah generasi, zaman (lihat: Webster's New Twentieth Century Dictionary Unabridged, 1979, halaman 1641). Dalam perkembangannya, istilah tersebut mengerucut menjadi sebuah istilah yang muatannya bersangkutan dengan masalah "dunia" atau hal-hal bendawi yang tidak berkaitan dengan masalah spiritualikerohanian atau hal-hal yang sifatnya "suci"(sacred) (lihat: Ibid.). Tegasnya, hal-hal yang hanya bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian (lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, halaman 1015).
Dengan demikian, yang dimaksud istilah "kehidupan sekuler" di sini adalah kehidupan yang diselimuti serba duniawi, serba kebendaan, serba kebutuhan hidup yang sifatnya hanya fisik. Pada intinya, yang terkandung dalam kehidupan sekuler itu adalah tuntutan hidup yang senantiasa diorientasikan atau dikaitkaitkan secara melekat pada tuntutan yang bersifat ekonomi. Umat Islam Nusantara khususnya, bangsa Indonesia umumnya, dalam kesejarahannya telah mengalami pahitnya kehidupan akibat dari keserakahan yang sifatnya ekonomis ini. Umat Islam Nusantara pemah mengalami zaman kolonialisme dan sekaligus imperialisme sejak kedatangan pelaut Belanda, Cornelis deHoutman di Banten (tahun 1596) sampai diproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Indonesia (17 Agustus 1945), yang oleh DR (HC) Ir Sukarno dihitung 350 tahun lamanya. Negeri Nusantara pernah direbut dan diaku wilayah teritorialnya oleh Belanda (karena itu disebut dikolonialisasi) dan sekaligus dikuasai secara penuh pengelolaannya, baik di bidang kekayaan maupun pengaturan masyarakatnya (karena itu disebut imperialisasi).
Kolonialisme dan imperialisme merupakan wujud konkret dari berlebih-lebihannya orientasi hidup kebendaan atau duniawi di atas. Karena itu, sifat keserakahan, kelobaan, dan ketamakan menjadi watak yang cukup membekas dalam masyarakat. Masyarakat yang terjajah akibat kolonialisasi dan imperialisasi menjadi trauma dari satu segi, namun dari segilain justru mendambakan hidup duniawi yang serba melimpah. Sayangnya dambaan hidup semacam itu melahirkan sifat-sifat yang kurang baik, seperti ingin serba cepat untuk meraih sesuatu. Maka muncullah kesukaan hidup menerabas, tidak menurut tahapan-tahapan secara teratur, ingin serba instant (seketika), menyuap, menyogok, korupsi, dan sebagainya. Jadi, terjadi kondisi yang serba paradoks. Di satu sisi trauma terhadap penderitaan tersebab penjajahan, sepertikemiskinan, kesengsaraan, ketertekanan, kehilangan hak, kehilangan kebebasan, dan sebagainya, namun di sisi lain justru timbul kecenderungan untuk haus harta benda, haus kekayaan melimpah, berkebebasan tak terkendali, haus kekuasaan, dan sebagainya. Sifat yang berwajah paradoks (kesebalikan) seperti ini sangat terlihat jelas pada saat ini.
Zaman globalisasi saat ini, yang lagi-lagi latar belakangnya juga bertumpu pada keserakahan ekonomis pada intinya, tampaknya membuat sifat paradoks tersebut makin sulit dieliminasi atau dilenyapkan. Bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang sifat paradoks semacam itu? Garapan Al-Qur'an adalah "manusia", bukan makhluk yang lain di planet bumi yang satu-satunya ini. Sebab, apa saja yang menjadi isi planet bumi ini, seluruhnya untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah [2j: 29). Benda mati (beku, cair, gas, eter), benda tumbuh (tumbuh-tumbuhan), dan benda hidup (hewan, binatang), seluruhnya untuk kepentingan manusia. Karena itu yang justru penting adalah mengendalikan manusia nya. Sementara itu dalam diri manusia ada faktor "nafs" yang salah satu pengertiannya adalah "dorongan hawa nafsu"(An-Nazi'at[79): 40).
Dorongan hawa nafsu y ang bekerja pada diri manusia tersebut sungguh senantiasa mendorong manusia untuk berbuat buruk (Yusuf [12): 53). Misalnya mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan Allah SwT. Bahkan, sampai ada orang yang justru menyembah atau taat mati-matian terhadap hawa nafsunya, atau dengan kata lain telah mempertuhan terhadap hawa nafsunya. Orang semacam itu, oleh Al-Qur'an disebut orang yang tidak mau menggunakan pendengaran (telinga) untuk mendengar nasihat kebenaran dan tidak mau menggunakan kemampuan akalnya yang menalar dan merenungkan kebenaran, yang karena itu orang tersebut bagaikan bewan ternak, atau malahan lebih sesat daripada itu (Al-Furqan [25]: 43-44).
Secara normatif Al-Qur'an menyatakan, bahwa agar seseorang tidak dikendalikan oleh "nafs"(hawa nafsu) seperti tersebut di atas, maka satu-satunya cara untuk melepaskannya adalah dengan "dzikir" (ingat) kepada Allah SwT. Dan "ghaflah" (lalai, abai, lupa) kepada Allah SwT merupakan kondisi rohani yang kelewatan (Al-Kahfi [18): 28). Orang hatinya tergetar dan senantiasa ingat kepada Allah SwT ialah sebagai tanda dia adalah orang beriman. Tauhid, atau keyakinan penuh terhadap Allah SwT yang Maha Tunggal, akan mampu membuat jarak yang signifikan terhadap keinginan duniawi yang berlebih-lebihan itu. Sebaliknya, siapa orang yang lebih dekat hatinya pada hawa nafsunya (nafs), maka dia akan makin tergulung oleh lumpur keinginan duniawi tersebut.
Orang beriman, bertauhid, dia telah berusaha untuk menarik dirinya "ke atas" agar terkendali dari daya tarik hawa nafsu. Sebaliknya, jika dzikir kepada Tuhan Yang Maha Tunggallemah, maka menguatlah daya tarik (gravitasi) untuk masuk lumpur hawa nafsu. Kehidupan sekuler ini sangat kuat tarikan gravitasi hawa nafsunya. Karena itu penguatan iman, dzikir, lewat ibadah mahdlah, seperti shalat yang berintikan dzikr" menjadi sangat penting di tengah-tengah kehidupan sekuler tersebut (Thaha [20}: 14). Wallaahu a'lam bishshawaab.*

Sumber : Muhammadiyah

RISALAH ASWAJA UNTUK REMAJA

Bagaimana Risalah ASWAJA Untuk Remaja???

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ للهِ وَحْدَه , اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَه لاَ شَرِ  يْكَ لَه , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُه وَرَسُوْلُه شَهَادَةً تـُـنْجِيْ قَائِلَهَا مِنْ اَهْوَالِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ , اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلى مَنْ لاَ نــَـبِيَّ بَعْدَه وَعَلى الِه وَصَحْبِه وَمَنْ وَّالاَهُ , وَلاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ , أَمَّا بَعْدُ , وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَالْهِدَايَةِ ,

س : هَلْ كَانــَتْ فِيْ قِرَاءَةِ الشَّهَادَةِ فَضِيْلَةٌ ؟

ج : نَعَمْ , فِيْهَا فَضِيْلَةٌ بَلْ أَمَرَ رََسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ قِرَائَـتِهَا.وَمِنْ فَضَائِلِهَا قَوْلُه تَعَالى ] إِنَّ الَّذِ  يْنَ قَالُوْا رَ بـُّـنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَـتَـنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَنْ لاَ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنـُـوْا وَاَبــْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ [ فُصِّلَتْ ٣٠ (حم السَّجْدَةْ ٣٠)

    وَمِنَ اْلإِسْتِقَامَةِ اَلْمُدَاوَمَةُ عَلى كَلِمَةِ الشَّهَادَةِ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ .
Soal      : Apakah membaca syahadat itu ada fadhilahnya ?
Jawab   : Ya, ada fadhilahnya, bahkan Rasulullah SAW. memerintahkan untuk membacanya.
              Diantara fadhilahnya adalah firman Allah SWT : “Sesungguhnya orang yang mengucapkan : “Allah Tuhan kami”, kemudian selalu beristiqomah, maka akan turun malaikat kepada mereka dengan mengatakan; janganlah kamu merasa takut dan sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Fushshilat/Assajdah ayat 30).
               Dan termasuk istiqomah adalah terus menerus membaca kalimat syahadat di setiap waktu.

وَفِيْ تَفْسِيْرِ صَاوِيْ مِنَ الْجُزْءِ اْلأَوَّلِ ص ١٣٥ أَنــَّـهَا تَقْلَعُ عِرْق الشِّرْكِ مِنَ الْقَلْبِ وَ تَدْفَعُ مِنَ الْوَسْوَاسِ وَ لِذَا إِخْتَارَهَا الْعَارِفُوْنَ فِيْ خَتــْمِ صَلاَتِهِمْ فَيَقْرَؤُنــَهَاعَقِبَ كُلِّ صَلاَتِهِمْ .

Disebutkan dalam Tafsir SHOWI dari Juz awal halaman 135 sesungguhnya syahadat itu akan menghancurkan sendi-sendi kemusyrikan didalam hati dan menghilangkan keraguan, karena itu para arifin memilih syahadat untuk dibaca setiap selesai shalat.

وَفِيْ تَفْسِيْرِ سِرَاجُ الْمُنِيْرِ مِنَ الْجُزْءِ اْلأَوَّلِ ص ٤٣٦ مَا نــَصُّه قَالَ إِبْنُ عَبَّاسٍ مَنْ دَاوَمَ عَلى الشَّهَادَةِ  فِى الْحَيوة الدُّ نـــْيَا يُثَبِّتُه اللهُ عَلَيْهَا فِىْ قَبْرِهِ وَيُلَقِّنُه إِيَّاهَا .

Dan di terangkan pula dalam Tafsir SHIROJUL MUNIR Juz awal halaman 436, sebagai berikut : Ibnu Abbas r.a. berkata : “Barang siapa mendawamkan syahadat selama hidup didunia maka Allah SWT akan menetapkan syahadat itu kepadanya didalam quburnya dan Allah akan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat”.

يُثــَبــِّتُ اللهُ الَّذِ يْنَ آ مَنُوْا بالْقَوْلِ الـثــَّابــِتِ فِى الْحَيوة ِ الدُّنــْيَا وَفِى اْلأخِرَةِ وَيُضِلُّ اللهُ الظَّالِمِيْنَ وَ يَفْعَلُ اللهُ مَا يَشَآءُ .

“ Allah akan menetapkan ucapan-ucapan yang ditetapkan oleh orang yang briman pada waktu hidup di dunia dan di akhirat dan Allah akan menyesatkan orang orang yang dzalim. Dan Allah akan berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”

وَمِنْ أَمْرِه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى قِرَائَـتـِهَا: قَوْلُه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : جَدّ][}{][س  : هَلْ قَرَأَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهَادَةَ بَعْدَ الصَّلاَةِ ؟

ج   : نــَعَمْ , قَرَأَهَا بَعْدَ السَّلاَمِ مِنَ الصَّلاَةِ كَمَا وَرَدَ فِى الْحَدِ يــْثِ  , وَرَوَ  يْنَا فِى كِتَابِ إِبْنِ السُّـنِّيْ عَنْ أَ نــَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قَضى صَلاَتَه مَسَحَ جَبْهَـتَه بــِيَدِهِ الْيُمْنى ثــُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ اَللّهُمَّ أَذ ْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزْنَ  ] أَذْكَارُ النَّوَاوِيْ ص ٦٩[

Soal     :  Apakah Rasulullah SAW membaca syahadat setelah beliau shalat ?
Jawab  :  Ya, Rasulullah SAW membacanya setelah salam dari shalat, sebagaimana terdapat dalam hadits yang ada pada kitab Ibnu Sunni : Dari Anas r.a. dia berkata : Rasulullah SAW setelah selesai shalat beliau memegang dahi dengan tangan kanan seraya mengucapkan “Aku bersaksi bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah yang maha pengasih dan penyayang, Ya Allah, lepaskanlah dariku kesusahan dan kesedihan”. (ADZKAARUN NAWAWY Halaman 69).

س  : لِمَاذَا لاَ يَقْرَأُ الرَّسُوْلُ شَهَادَةَ الرَّسُوْلِ وَ نــَحْنُ نــَقْرَ ئـُـهَا ؟

ج   : نــَعَمْ , ِلأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَدْ شَهِدَ بــِأَنَّ نــَفْسَه رَسُوْلُ اللهِ , وَأَمــَّا نــَحْنُ  فَمِنْ  أُمــَّتِه فَإِذَا وَقَعَ أَحَدٌ مِنَّا فِى الشِّرْكِ اَوِ الْمُرْتَدِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ قِرَاءَةُ الشَّـهَادَ تَيْنِ لاَ سِيَمَا فِى هذِهِ الزَّ مَانِ , كَمَا فِى الْحَدِ يــْثِ  عَنْ أَبــِيْ أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَكُوْنُ فِــتــْنَةٌ فِى اخِرِ الزَّمَانِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيْهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا إِلاَّ مَنْ اَجَارَه اللهُ تَعَالى بــِالْعِلْمِ اَوْ بــِا الشَّيْخِ } دَسُوْقِيْ ص : ٨٩ {  اَمَا تَرْضى حَبِيْبُ عُمَرُ يُعَلِّمُ الشَّـهَادَ تــَيْنِ فِى هذَا الزَّمَانِ .

Soal     :   Mengapa Rasulullah SAW tidak membaca syahadat rasul sedangkan kita membacanya?
Jawab  :  Karena Rasulullah SAW telah bersaksi bahwa dirinya adalah Rasulullah adapun kita adalah ummat rasul seandainya tergelincir kedalam syirik atau murtad, maka wajib membaca dua kalimat syahadat, apalagi di zaman akhir ini, didalam hadits, Abu Hurairah r.a. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Fitnah di zaman akhir dapat menjadikan seseorang mu’min di pagi hari, dan kafir di sore hari, kecuali orang yang telah diselamatkan oleh Allah SWT dengan ilmu pengetahuan atau dengan seorang guru yang memberi petunjuk (Guru mursyid) (DASUQY Halaman 89) ; Apakah anda tidak senang Habib Umar mengajarkan dua kalimat syahadat di zaman ini.

الشِّرْكُ اَحْفى مِنْ ذَبــِيْبِ الذِّرِّ عَلىَ الصَّمَاءِ فِى اللَّيْلِ الظُّلْمَاءِ

Syirik lebih samar dari pada semut hitam kecil yang berjalan diatas batu hitam yang licin pada waktu malam hari yang gelap gulita.

س  : مَا حِكْمَةُ وَمَقَاصِدُ قِرَا ئـَـتِهَا عَلَى ثَلاَثَةِ مَرَّاتٍ بَعْدَ السَّلاَمِ مِنَ الصَّلاَةِ ؟

ج   : حِكْمَـتُـهَا وَمَقَاصِدُهَا عَلى ثَلاَثَةِ مَقَاصِدَ :

    اَلأَوَّلُ : طَلَبُ ثــُبُوْتِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ عِنْدَ نــَزْعِ الرُّوْحِ

    الــثَّانِيْ : طَلَبُ ثـُبُوْتِ الْجَوَابِ الصَّحِيْحِ عِنْدَ سُؤَالِ سَيِّدِنــَا  مُنْكَرٍ  وَ نــَكِيْرٍ فِيْ الْقــَبْرِ

    الــثَّالثُ      :     طَلَبُ السَّلاَمَةِ مِنْ اَهْوَالِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ فِى  الْمَحْشَرِ

Soal     : Apakah hikmah dan maksud membaca dua kalimat syahadat tiga kali setelah salam dari shalat ?
Jawab  : Hikmah dan maksud (tujuan) nya ada tiga :
             Pertama    :  Mohon ditetapkan Iman Islam saat dicabut rukh
             Kedua        : Mohon ditetapkan dua kalimat syahadat untuk menjawab pertanyaan mlaikat Munkar Nakir didalam kubur.
             Ketiga        :  Mohon diselamatkan dari kebingungan pada hari Qiyamat an makhsyar.

وَسَلَّمْ قُرِئَتْ بالْمَاضِى – لِقَوْلِ اْلأَلْفِيَّةِ : وَعَطْفُكَ الْفِعْلَ عَلى الْفِعْلِ يَصِحْ

Wasallam dibaca fiil madhi, karena dalam kitab Alfiyah dalam bab ‘ataf, fiil madhi boleh di’atafkan kepada fiil amar dengan sama tujuannya.

قَالَ الشَّـارِحُ ( إِبْنُ عَقِيلْ ) إِنَّ الْعَطْفَ لَيْسَ مُخـْتَصًّا بِاْلأَسْمَاءِ بَلْ يَكُوْنُ فِيْهَا وَفِى اْلأَْعَالِ نــَحْوُ يَقُوْمُ وَ يَقْعُدُ زَيْدٌ وَ رَكِبَ وَ اِضْرِبْ زَ يْدًا وَ قُمْ } إِبْنُ عَقِيلْ ١٣٧ {

Imam Ibu Aqil mengatakan bahwa ‘athaf tidak dikhususkan pada isim saja, bahkan bisa diterapkan dalam isim dan fiil seperti dalam kalimat  يَقُوْمُ وَ يَقْعُدُ زَيْدٌ وَ رَكِبَ وَ اِضْرِبْ زَ يْدًا وَ قُمْ dan seperti dalam ayat al-Qur’an :  فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا فَأَثَرْنَ بِه نَقْعًا  (IBNU AQIL Halaman 137).

س : هَلْ يَجُوْزُ الــتَّلْقِيْنُ لِلْمَيِّتِ عَلى قَـبْرِهِ بِقِراءَةِ الشَّـهَادَ تـَـيْنِ فَقَطْ ؟

ج  : نــَعَمْ يَجُوْزُ بَلِ الْمُرَادُ بـــِهِ  هُوَ تَلْقِيْنُ الشَّـهَادَ تَـيْنِ كَمَا هُوَ الْمَعْمُوْلُ فِيْ كِتَابِ الـتَّلْقِيْنِ اَلَّذِيْ يَقْرَؤُهَا الْمُسْلِمُوْنَ .

Soal      : Apakah boleh talqin mayyit hanya dengan membacakan dua kalimat syahadat ?
Jawab   : Ya boleh, bahkan yang dimaksud dengan talqin adalah menalqinkan dua kalimat syahadat, seperti yang tertera dalam buku talqin yang biasa digunakan oleh kaum muslimin itu ada ucapan :

أُذْكُرِ  الْــعَهْدَ الَّذِيْ خَرَجْتَ مِنْ دَارِ الدُّ نـــْيَا إِلى دَارِ اْلآخِرَةِ  وَهُوَ شَهَادَةُ أَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ .

Ingatlah akan perjanjian ketika engkau keluar dari dunia ke akhirat, ialah mengenai syahadat, yaitu menyaksikan tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah.

وَكَمَا فِيْ كِتَابِ رِيَاضِ الصَّالِحِيْنَ حَدِ يْثٌ عَنِ الْبَرَّاءِ ابْنِ عَازِبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : إِذَا سُئِلَ فِيْ قَـبْرِهِ  يَشْهَدُ اَنْ لاَّ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ . فَذلِكَ قَوْلُه تَعَالى : يُـثَــبِّتُ اللهُ الَّذِ يــْنَ آمَنُوْ بالْقَوْلِ الـثَّابـــِتِ  فِى الْحَيوةِ الدُّنـــْيَا وَفِى اْلأخِرَةِ  } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ {

Dan sebagaimana tersebut dalam kitab RIYADHUSSHOLIHIN dari Barra Bin ‘Azib, bahwa Rasulullah SAW., bersabda : Apabila mayat ditanya oleh malaikat Munkar Nakir dikuburnya, dan menyaksikan tidak ada tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Allah berfirman : Allah menetapkan kepada orang-orang mu’min ucapan-ucapan yang tetap pada waktu hidup di dunia dan di akhirat. (HR. Buchari Muslim).

س  : هَلْ هُـنَاكَ دَلِيْلٌ يَدُلُّ عَلى قِرَاءَةِ الـتَّسْبِيْحِ وَ الـتَّحْمِيْدِ وَ الـتَّهْلِيْلِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ؟

ج   : نــَعَمْ , فِـيْهِ دَلِيْلٌ كَمَا فِى الـتُّحْفَةِ مِنَ الْجُزْءِ اْلأَوَّلِ ص : ٢٧٧ (تـَنْبِيْهٌ) أَنـــَّه وَرَدَ فِى رِوَايَاتٍ . النَّقْصُ عَنْ ذلِكَ الْعَدَدِ وَ الزِّ يــَادَةِ عَلَيْهِ كَخَمْسٍ وَعِشْرِ يْنَ وَ اِحْدى عَشَرَةَ  وَ ثَلاَثٍ وَ مَرَّةٍ وَ سَبْعِيْنَ وَ مِائَةٍ فِى الـتَّسْبِيْحِ .

Soal     : Adakah dalil yang menunjukkan membaca tasbih, tahmid dan takbir dibaca tiga kali ?
Jawab  : Ya, ada dalilnya ; sebagaimana tersebut dalam ATTUHFAH juz awal halaman 277 (peringatan) sesungguhnya ada riwaat-riwayat bahwa ada yang kurang dan ada yang lebih dari 33 kali, seperti 25, 11, 3, 1 ada pula yang 70 dan 100 kali dalam membaca tasbih.

س  : لِمَاذَا نَلْبَسُ الـثِّـيَابَ الْبِيْضَ عِنْدَ الصَّلاَةِ خَاصَّةً ؟

ج   : ِلأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُـهَا وَ يَأْمُرْ بـــِهَا كَمَا فِى بُلُوْغِ الْمرَامِ ص : ٦٣ عَنْ اِبــْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابــِكُمُ الْبِيْضَ فَإِنــَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابـــِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ } رَوَاهُ اْلخَمْسَةُ اِلاَّ الـنَّسَائِ وَصَحَّحَه ُالـتُّرْمُذِيْ {

Soal     : Mengapa kita memakai pakaian putih ketika shalat ?
Jawab  : Karena Rasulullah SAW., memakai dan memerintahkannya. Seperti yang tersebut dala kitab BULUGHULMARAM halaman 63 terdapat keterangan dari Ibnu Abbas r.a. sesungguhnya Nabi SAW, telah bersabda : “Pakailah olehmu pakaian yang putih, sesunguhnya pakaian yang putih itu adalah pakaian yang terbaik bagimu, dan bungkuslah mayatmu dengan kain putih. (Diriwayatkan oleh : Lima Ulama kecali Imam an-Nasa’i dan di shahihkan oleh Imam Turmudzi).

وَفِى فَــتــْحِ الْوَهَّابِ  ص : ٨٧  - وَ فِى اِقْنَاعٍ  ص : ١٧٩ - وَ فِى جَمِيْعِ الصَّغِيْرِ جُزْءُ ثَانِيْ حَدِيْثٌ ٥٥١٥ : عَلَيْكُمْ بِاالْبَيَاضِ مِنَ الثِّيَابِ فَلْيَلْبَسْهَا اَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ فَإِنــَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابـــِكُمْ .

Dan tersebut didalam kitab FATHUL WAHHAB halaman 87 dan kitab IQNA’ halaman 179 dan Kitab JAMI’ISH SHAGHIIR halaman 130 dari juz 2 hadits nomor 5515 : tetapkanlah atasmu pakaian yang putih dan pakailah bagi orang yang hidup dengan pakaian yang putih, dan bungkuslah mayatmu dengan pakaian yang putih, sesungguhnya pakaian putih adalah pakaian yang terbaik bagimu.

وَفِى اْلإِحْيَاءِ اِلْجُزْءِ اْلأَوَّلِ فِى بَابِ اَدَابِ الْجُمْعَةِ : وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : مَنْ نــَظُفَ ثــَوْبُه قَلَّ هَمُّه وَمَنْ طَابَ رَ يــْحُه زَادَ عَقْلُه – وَاَمَّا الْكِسْوَةُ فَاَحَبُّهَا اَلْبَيَاضُ مِنَ الـثِّـيَابِ إِذ ْ اَحَبُّ الـثِّيَابِ اِلى اللهِ اَلْبِيْضُ لاَ يَلْبَسُ مَا فِـيْهِ شَهْرَةٌ وَلَبْسُ السَّوَادِ لَيْسَ مِنَ السُّـنَّةِ وَلاَ فـِيْهِ فَضْلٌ بَلْ كَرَّهَ جَمَاعَةٌ اَلنَّظَرُ اِلَيْهِ  ِلأَ نــَّه بِدْعَةٌ مُحْدَثــَةٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ الْعِمَامَةُ مُسْتَحَبَّةٌ فِى ْ هذَا الْيَوْمِ .
Dan telah tersebut dalam kitab IHYA pada juz awal dalam bab adabul jum’at, telah berkata Imam Syafi’i : “ Barang siapa bersih pakaiannya, maka sedikit susahnya, dan barang siapa wangi baunya, akan ditambah akalnya, dan adapun pakaian yang lebih dicintai adalah pakaian putih, karena pakaian yang lebih dicintai oleh Allah adalah pakaian putih yang tidak loreng, dan berpakaian hitam tidak termasuk sunnah, dan tidak ada fadhilahnya (keutamaannya) bahkan sekelompok ulama, memakruhkan melihatnya, karena bid’ah yang diada-adakan sesudah wafatnya Rasulullah SAW., dan sorban disunnahkan sampai hari ini.

س  : لِمَاذَا نَلْبَسُ الْقَمِيْصَ اَوِ الْجُـبَّةَ وَالْعِمَامَةَ فِى الصَّلاَةِ خَاصَّةً ؟

ج   : ِلأَنــَّه سُـنَّةٌ , كَمَا فِيْ بُغْيَةُ الْمُسْتَرْ شِدِيْنَ ص : ٨٦ (مَسْئَلَةٌ) يُسَنُّ لَـبْسُ الْقَمِيْصِ وَاْلإِزَارِ وَالْعِمَامَةِ وَالطَّيْلَسَانِ فِى الصَّلاَةِ وَغَيْرِهَا اِلاَّ فِيْ حَالِ النَّوْمِ وَ نــَحْوِه يُخــْتَصُّ الطَّيْلَسَانُ غَالِبًا بِأَهْلِ الْفَضْلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ .

Soal     : Mengapa kita memakai Gamis, Jubbah, dan sorban khususnya pada waktu shalat ?
Jawab  :  Karena sunnat, seperti dalam Kitab BUGHYATUL MUSTARSYIDIIN halaman 86 terdapat masalah : disunnahkan memakai Gamis, sarung dan sorban dan thoilasan (pakaian untuk menutup kepala sebelum memakai sorban) diwaktu shalat atau diluar shalat, kecuali diwaktu tidur dan sebagainya akan tetapi thoilasan itu khusus bagi orang-orang yang mulia dari ulama dan pemimpin.

وَقَالَ فِي الدِّعَامَةِ  ص: ٨-٩  مَا نـَصُّه وَ اَخْرَجَ الدَّيْلَمِيُّ فِيْ مُسْنَدِ الْفِرْدَوْسِ عَنْ جَابِرٍ رَفَعَه – رَكْعَةٌ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِلاَ عِمَامَةٍ . قَالَ اَلْمُـنَاوِيْ فِى التَّيْسِيْرِ : ِلأَنَّ الصَّلاَةَ حَضْرَةُ الْمَلِكِ وَ الدُّخُوْلُ اِلى حَضْرَةِ الْمَلِكِ بِغَيْرِ تَجَمُّلٍ خِلاَفُ اْلأَدَبِ . وَجُمْعَةٌ بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ سَبْعِيْنَ جُمْعَةً بِلاَ عِمَامَةٍ .

Dan telah berkata dalam kitab DI’AMAH halaman 8-9 ; terdapat keterangan bahwa Imam Ad-Dailamy telah menerangkan dalam kitab Musnadil Firdaus dari Jabir , Hadits marfu’ : shalat satu raka’at dengan memakai sorban itu lebih baik dari pada 70 roka’at dengan tidak memakai sorban. Dan Imam Munawi telah memberi keterangan dalam kitab Taisir : sesungguhnya shalat itu menghadap raja (Allah) adapun menghadap raja tidak memakai pakaian yang baik adalah tidak beradab. Dan shalat jum’at sekali dengan memakai sorban adalah berlipat 70 kali lipat (pahala) jum’atan dengan tidak memakai sorban.

س :  لِمَاذَا نــَتَوَسَّلُ بِاْلأَنْبِيَاءِ وَاْلأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ ؟

ج  :  ِلأَنَّ نــَعْمَلُ بِقَوْلِهِ تَعَالى اَلــَّذِيْ فِيْ سُوْرَةِ الْمَائِدَةِ  اْلأَيَةْ ٣٥ : يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ ا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِه لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ – كَذَا فِيْ فَــتَاوِيْ الْخَلِيْلِيْ :

Soal      : Mengapa kita bertawassul kepada para Nabi para wali dan para sholihin ?
Jawab   : Karena kita beramal atas dasar firman Allah yang ada dalam surat al-Maidah ayat 35 : “Hai oang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatan diri kepada-Nya, dan berjihadlah kepadanya, supaya kamu mendapat keberuntungan (surga). Sebagaimana tersebut dalam kitab FATAWI ALKHALILI Halaman 258.

وَقَالَ إِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنَّ الْوَسِيْلَةَ كُلُّ مَا يُـتَقَرَّبُ بـــِه اِلى اللهِ .

Dan telah berkata IBNU ABBAS r.a. : Sesungguhnyawasilah itu adalah sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.

وَمِنْ جُمْلَةِ ذلِكَ مَحَبَّةُ اَنْبِيَاءِ اللهِ وَاَوْلِيَائِه وَالصَّدَقَاتِ وَزِيَارَةِ اَحْبَابِ اللهِ وَكَثْرَةِ الدُّعَاءِ وَغَيْرِ ذلِكَ : فَالْمَعْنَى كُلُّ مَا يُقَرِّ بــُكُمْ اِلى اللهِ فَالْزَمُوْهُ وَاتْرُكُوْا كُلَّ مَا يُـبْعِدُكُمْ عَنْهُ – إِذَا عَلِمْتَ ذلِكَ فَمِنَ الضَّلاَلِ الْبَيِّنِ وَالْخُسْرَانِ الظَّاهِرِ تَكْفِيْرُ الْمُسْلِمِيْنَ بــِزِ  يَارَةِ اَوْلِيَاءِ اللهِ زَاعِمِيْنَ أَنَّ زِيَارَ تــَـهُمْ مِنْ عِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ كَلَّ بَلْ هِيَ مِنْ جُمْلَةِ الْمَحَبَّةِ اللهِ اَلَّتِيْ قَالَ فِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ اَلاَ  لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ مَحَبَّةَ لَه .

} تَفْسِيْرُ صَاوِيْ مِنَ الْجُزْءِ اْلأَوَّلِ  ص : ٢٦٥{

Dan yang termasuk wasilah adalah cinta kepada para Nabi, kepada para wali , shodaqoh, ziyarah kepada para kekasih Allah, memperbanyak do’a dan lain-lain. Yang dimaksud, kerjakanlah sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah, dan tinggalkanlah sesuatu yang menjauhkan diri kepada Allah. Karena itu kita diharapkan tahu, maka termasuk kekeliruan dan merugi orang yang mengatakan kafir kepada orang yang berziyarah kepada waliyullah dengan bersyakwa sangka bahwa ziyarahnya itu beribadah selain kepada Allah. Janganlah demikian, justeru yang demikian itu termasuk cinta kepada Allah. Rasulullah SAW., bersabda : “Ingatlah tidak sempurna iman seseorang yang tidak mahabbah (mencintai) kepadanya”. (TAFSIR SHOWI Juz awal halaman 265).

وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ اَحَبَّ . وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ كُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ . وَقـِيْلَ الْفَنَاءُ فِى الشَّيْخِ مُقَدِّمَةُ الْفَنَاءِ فِى اللهِ . كَذَا فِيْ تَنْوِيْرُ الْقُلُوْبِ  ص: ٥٧

Dan telah bersabda Nabi SAW. : “Manusia itu bersama orang yang dicintai” Dan Nabi SAW. telah bersabda pula : “Ingatlah ! (wahai ummatku) kepada Allah jika ia tidak bisa mengingat, maka berkumpullah bersama orang yang ingat kepada Allah”. Dan diterangkan oleh sebagian ulama bahwa cinta kepada guru, itu sebagian permulaan cinta kepada Allah. Sebagaimana tersbut dalam kitab TANWIRUL QULUB halaman 57.

وَقَالَ فِى الْبَاجُوْرِيْ مِنَ الْجُزْءِ الثَّانِيْ ص : ٧٠٠ وَقَالَ فِيْ نــَهْجِ السَّعَادَةِ  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَوَسَّلُوْا بـــِيْ  وَبِأَهْلِ بــَيْتـِيْ اِلى اللهِ فَإِ نــَّه لاَ يُرَدُّ مُـتَوَسِّلٌ  بـــِنَا } رَوَاهُ إِبْنُ حِبَّانَ فِيْ صَحِيْحِه {

Dan telah berkata dalam kitab BAJURI dari juz kedua halaman 700 ; Dan telah berkata dalam Nahjissa’adah Rasulullah SAW., telahbersabda : “Bertawassullah kamu dengan ku dan degan ahli bait ku, sesungguhnya orang yang bertawassul kepada ku tidak akan ditolak” (H.R. IBNU HIBBAN dalam Hadits Shahihnya).

وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَوَسَّلُوْا بِجَاهِيْ , فَإِنَّ جَاهِيْ عِنْدَ اللهِ عَظيْمٌ , كَذَا فِيْ بُغْيَةِ الْعَوَامِ .

Dan Nabi SAW telah bersabda : “Bertawassullah kamu dengan kebesaranku, sesungguhnya sifat kehormatanku bagi Allah adalah suatu perkara yang berfaidah” (sebagaimana tersebut dalam kitab BUGHYATUL AWAM).

وَقَالَ فِى اْلإِحْيَاءِ مِنَ الْجُزْءِ اْلأَوَّلِ  ص ٢٣٣ : عَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ نِ الصِّدِّ يْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , اَللّهُمَّ إِ نِّيْ أَسْـئـــَلُكَ بِمُحَمَّدٍ نــَبِيِّكَ وَاِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلِكَ وَمُوْسى كَلِمَتِكَ وَرُوْحِكَ وَبِتَوْرَاةِ مُوْسى َاِنْجِيْلِ عِيْسى وَزَبُوْرِ دَاودَ وَفُرْقَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ .

Dan tersebut dalam kitab IHYA Juz awal halaman 233; Rasulullah SAW telah mengajar Abu Bakar Ash-shiddiq r.a. supaya membaca doa :

اَللّهُمَّ إِ نِّيْ أَسْـئـــَلُكَ بِمُحَمَّدٍ .... الخ

وَقَالَ فيِِ بُغْيَةُ الْمُسْتَرْ شِدِيْنَ  ص ٣٥٨ : وَاَمَّا التَّوَسُّلُ بِاْلأَنـــْبِيَاءِ وَ الصَّالِِحِيْنَ  فَهُوَ أَمْرٌ مَحْبُوْبٌ ثـــَابـــِتٌ بــِا اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ وَقَدْ أَطْبَقُوْا عَلى طَلَبِه بَلْ ثَبَتَ التَّوَسُّلُ بِاْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَهِيَ اَعْرَضٌ فَبِاالذَّوَاتِ اَوْلى.اَلتَّوَسُّلُ بِاْلأَنـــْبِيَاءِ وَاْلأَوْلِيَاءِ فيِ  ْ حَيَاتِهِمْ وَبَعْدَ وَفَاتِهِمْ مُبَاحٌ شَرْعًا كَمَا وَرَدَتْ السُّنَّةٌ الصَّحِيْحَةُ .

Dan telah diterangkan dalam kitab BUGHYATUL MUSTARSYIDIIN halaman 358 : “adapun bertwassul dengan para Nabi dan para sholihin adalah sesuatu yang dicintai syara’ dan sudah ditetapkan dengan hadits yang shohih. Dan para ulama telah sepakat dengan menjalankan tawassul bahkan sudah tetap (diperbolehkan) tawassul dengan amal shaleh padahal amal shaleh itu suatu sifat, maka dari itu lbih utama tawassul dengan dzat, adapun tawassul dengan para Nabi dan para wali dimasa hidupnya dan sesudah wafatnya itu diperbolehkan secara hukum syara’, seperti yang telah berlaku dalam hadits yang shohih.

وَقَالَ فيِ  اْلأَذ ْكَارِ فيِ  ْ بَابِ اْلأَذ ْكَارِ فيِ اْلإِسْتِسْقَاءِ ص ١٣٤ وَيُسْتَحَبُّ إِذَا كَانَ فِيْهِمْ رَجُلٌ مَشْهُوْرٌ بِالصَّلاَحِ اَنْ يَسْتَسْقُوْا بــِه فَيَقُوْلُوْا  اَللّهُمَّ إِنــَّا نَسْتَسْقِيْ وَ نــَتَشَفَّعْ اِلَيْكَ بِعَبْدِكَ فُلاَنٍ .

Dan telah berkata dalam kitab Adzkar pada bab Dzikir dalam shalat Istisqa’, halaman 134 : Dan disunnatkan bertawassul dengan orang-orang yang masyhur kebaikannya seperti berdo’a dengan membaca : اَللّهُمَّ إِنــَّا نَسْتَسْقِيْ.... الخ

س  : هَلْ يَجُوْزُ  اِسْتِغَاثَةُ النَّاسِ بِالنَّبِيِّ اَوِ الْوَلِيِّ اَوِ الشَّيْخِ بَعْدَ وَفَاتِهِمْ فيِ  قُبُوْرِهِمْ عِنْدَ الشَّدَائِدِ ؟

ج   : نــَعَمْ يَجُوْزُ , مَكْتُوْبٌ فيِ هَامِشِ الْفَتَاوِى الْكُبْرى  ص ٣٨٢ جُوزْ ٤ : هَكَذَا } سُئِلَ { عَمَّا يَقَعُ مِنَ الْعَامَّةِ مِنْ قَوْلِهِمْ عِنْدَ الشَّدَائِدِ يَاشَيْخُ فُلاَنُ , يَارَسُوْلَ اللهِ , وَ نــَحْوَ ذلِكَ مِنَ اْلإِسْتِغَاثَةِ بِاْلأَنــْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَاْلأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ فَهَلْ ذلِكَ جَائِزٌ اَمْ لاَ ؟ وَهَلْ لِلرُّسُلِ  وَاْلأَنـــْبِيَاءِ وَاْلأَوْلِيَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ وَالْمَشَايـــِخِ إِغَاثَةٌ بَعْدَ مَوْتِهِمْ ؟ وَمَاذَا يُرَجِّحُ ذلِكَ ؟

     } فَأَجَبَ { بِأَنَّ اْلإِسْتِغَاثَةَ بِاْلأَنـــْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَ اْلأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالْمَشَايـــِـــــخِ  جَائِزَةٌ , وَلِلرُّسُلِ وَ اْلأَنـــْبِيَاءِ وَ اْلأَوْلِيَاءِ وَالْمَشَايـــِــــخِ  إِغَاثَةٌ بَعْدَ مَوْتِهِمْ – ِلأَنَّ مُعْجِزَةَ اْلأَنـــْبِيَاءِ وَكَرَامَاتِ اْلأَوْلِيَاءِ لاَ تَـنْقَطِعُ بِمَوْتِهِمْ – اَمَّا اْلأَنـــْبِيَاءُ فَِلأَ نــَّهُمْ اَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ وَ يــَحِجُّوْنَ كَمَا وَرَدَتْ بـــِهِ  اْلأَخْبَارُ وَ تــَكُوْنُ اْلإِغَاثَةُ مِنْهُمْ مُعْجِزَةً لَّهُمْ – وَ الشُّهَدَاءُ اَيْضًا اَحْيَاءٌ شُوْهِدُوْا نَهَارًاجِهَارًا يُقَاتِلُوْنَ الْكُفَّارَ – وَاَمَّا اْلأَوْلِيَاءُ فَهِيَ كَرَامَةٌ لــَهُمْ- فَإِنَّ اَهْلَ الْحَقِّ عَلى اَنــَّه يَقَعُ مِنَ اْلأَوْلِيَاءِ بِقَصْدٍ اَوْ بِغَيْرِ قَصْدٍ اُمُوْرٌ خَارِقَةٌ لِلْعَادَةِ  يـُجْرِ يــْهَااللهُ تََعَالى بِسَبَبِهِمْ وَالدَّلِيْلُ عَلى جَوَازِهَا اَنــَّهَا اُمُوْرٌ مُمْكِنَةٌ لاَ يَلْزَمُ مِنْ جَوَازِ وُقُوْعِهَا مُحَالٌ , وَكُلُّ مَا هذَا شَأْنُه فَهُوَ جَائِزُ الْوُقُوْعِ , وَعَلى الْوُقُوْعِ قِصَّةُ مَرْ  يَمَ وَرِزْقِهَا اْلأتِيْ مِنْ عِنْدِ اللهِ عَلى مَا نــَطَقَ بـــِهِ  التَّــنْزِ يــْلُ.

Soal     : Boleh atau tidak memanggil-manggil para Nabi, para Wali, atau guru dipinggir quburan pada waktu ada kesulitan dan apakan para Nabi, para Wali dan Guru itu bisa memberi pertologan kepada orang yang minta tolong ?
Jawa    : Boleh dan para Nabi, Wali atau guru itu masih bisa memberi pertolongan pada orang yang minta tolong sesuai dengan keterangan dari Hamis-nya (penjelasan pinggir) kitab FATAWY AL-KUBRA halaman 382 juz 4 yang artinya : “bagaimana orang awam yang mengucapkan : “Ya Rasulullah, ya syaikh fulan ….” dan yang semacam dengan itu, dipinggir Quburan dengan tujuan meminta pertolongan kepada mereka, apakah mereka masih bisa memberi pertolongan ? (Jawabannya) boleh dan masih bisa memberi pertolongan , karena mukjizat para Nabi dan karomat para Wali tidak putus karena kematiannya. Nama para Nabi dan para Wali hidup di alam quburnya, masih menjalankan shalat dan haji, seperti dalam Hadits : Para Nabi masih bisa memberi pertolongan kepada yang meminta tolong sebagai mukjizatnya. Dan para syuhadapun masih hidup dan bisamembantu orang-orang yang perang dijalan Allah (sabilillah). Para Wali, Guru juga masih bisa memberi pertolongan kepada orang yang meminta tolong sebagai karomahnya, sesungguhnya para ulama ahli haq sekeyakinan dalam hal karomah, syafa’at, mu’jizat, sesungguhnya beberapa perkara yang tidak seperti biasanya (mustahil menurut akal) seperti yang sering terjadi di kalangan para Wali, baik sengaja ataupun tidak, itu sesuatu yang aneh (yang diluar kebiasaan) yang dijalankan Allah. Dalil adanya karomah, bahwa karomah itu suatu perkara yang mungkin, tidak termasuk sesuatu yang mustahil dan semua keadaan ini sesuatu yang mungkin, masalah tersebut sama dengan kisah Siti Maryam pada waktu mash kecil, ditemptkan di loteng kamar masjid baitul muqaddas dan pintunya dikunci rapat oleh Nabi Zakaria, setiap pagi Nabi Zakaria membuka pintunya dengan maksud memberi makanan pada Siti Maryam, akan tetapi didepan Siti Maryam sudah terhidang buah-buahan, pada musim hujan terhidang buah-buahan musim kemarau dan pada musim kemarau terhidang buah-buahan musim hujan. Ini sudah di Nash dalam al-Qur’an.

فَكَرَمَاتُ اْلأَوْلِيَاءِ مُشَاهَدَةٌ لاَ يُمْكِنُ اِنْكَارُهَا : سِرَاجُ الْبَيَانِ ص ١٥ وَفِى السِّيَرَةِ الشَّامِيَةِ وَغَيْرِهَا مَا نــَصُّه ذَهَبَ اَهْلُ لسُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ اِلى جَوَازِ الْكَرَامَاتِ  ِلْلأَوْلِيَاءِ اَحْيَاءً وَاَمْوَاتًا .

Karomah para wali jelas dan nyata tidak bisa diingkari, keterangan dari kitab SIROJUL BAYAN halaman 15 : Dan dalam kitab SIROTUSYSYAMIYAH ada keterangan bahwa Ahli sunnah wal jama’ah berpendapat tentang adanya karomah para wali baik semasa hidupnya maupun setelah wafatnya.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا تَخَيَّرْتُمْ فِي اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ اَهْلِ اْلقُبُوْرِ . كَذَا فيِ ْ بَهْجَةِ السَّنِيَّةِ  ص ١٤ .

Rasulullah SAW telah bersabda : Apabila kamu mempunyai kesulitan dalam suatu masalah maka mintalah pertolongan pada ahli qubur  (Dari Kitab Bahjatussaniyyah halaman 14)

س  : بـــِأَيِّ شَيْئٍ اَفْضَلُ مِنْ يَدْعُوْا اللهَ بِالــتَّوَسُّلِ اِلى الــنَّبِيِّ اَوِ الْوَلِيِّ  اَوِ الشَّيْخِ اَوْ بـــِغَيْرِهِ ؟

ج   : فِـيْهِ  تــَفْصِيْلٌ إِنْ كَانَ الدَّاعِيْ اِلى اللهِ فِيْ مَقَامِ الْعَوَامِ كَمِثْلِيْ بـــِوُجُوْدِ اْلإِحْسَاسِ بـــِاْلأَ ثـــَارِ  ( اَوْ بـــِرُؤْيَةِ الْخـَالِقِ  مَعَ الْخـَلْقِ ) فَاْلأَفْضَلُ مُـتَوَسِّلٌ بــِالنَّّبِيِّ اَوِ الْوَلِيِّ اَوِ الشَّيْخِ – فَإِنْ كَانَ الدَّاعِيْ اِلى اللهِ فِيْ مَقَامِ الْجَذ ْبِ وَالسَّكَرِ (عَدَمِ اْلإِحْسَاسِ بــِاْلأَثــَارِ) (اَوْ رُؤْيَةِ الْخَالِقِ وَحْدَه ) فَاْلأَفْضَلُ بــِغَيْرِ الـتَّوَسُّلِ اِلى شَيْئٍ كَإِبْرَاهِيْمَ حِيْنَ يُرْمى فِى الـنَّارِ وَ كَعَائِشَةَ حِيْنَ تُقْذَفُ بِالْفَاحِشَةِ مَعَ صَفْوَانِ اِبْنِ مُعَطَّلٍ السُّلَمِيْ وَهِيَ فِيْ مَقَامِ الْغَيْبَةِ وَالْفَنَا – وَ بـَعْدَ الصَّحْوِ هِيَ تَرَجِعُ اِلى مَقَامِ اْلإِحْسَاسِ وَهِيَ تَوَسَّلَتْ اِلى الـنَّبِيِّ شُكْرًا لَه كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَشْكُر ُاللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ الـنَّاسَ (حِكَمْ ج ٢ ص ٨٧)

Soal     :   Dengan cara apakah berdo’a kepada Allah yang lebih utama ? apakah dengan tawassul kepada Nabi, Wali, atau Guru ? atau secara langsung tidak dengan cara tawassul ?
Jawab  : Masalah tersebut bersifat tafsil artinya tergantung keadaan, bagi orang awam seperti kita, apabila berdo’a atau beribadah kepada Allah belum bisa wusul (rukhaninya kepada Allah), sehingga tidak mempunyai rasa adanya panca indra atau badan yang wujud ini, maka berdo’a itu lebih utama dengan cara tawassul, bagi orang yang bisa wusul, maa berdo’a itu lebih utama langsung seperti : Nabi Ibrohim pada waktu dilemparkan kedalam bara api, juga seperti Siti Aisyah pada waktu dituduh zina dengan sahabat Sofwan Bin Muaththal Assulami, setelah Siti Aisyah mempunyai perasaan bahwa wujud dirinya itu terasa wusunya (konsentrasi wusulnya kepada Allah) terasa kurang, maka Siti Aisyah dengan segera tawassul kepada Nabi SAW, karena syukuran kepadanya. Sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda : “Tidak bersyukur kepada Allah, barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia” (HIKAM Juz 2 halaman 87).

س  : هَلْ جَازَتْ اِسْتِغَاثَةُ الْمُرِ يْدِ لِشَيْخِهِ الْمُرْشِدِ  بـــِيَاهَادِيْ , يَاعَلِيْمُ , يَاخَبِيْر ُ , يَامُبِيْنُ , يَاوَلِيُّ , يَاحَمِيْدُ , يَاقَوِيْمُ ,  يَاحَفِيْظُ – اَلْمَقْصُوْدُ بـــِهَا وَمَرْجِعُـهَا اِلىَ الْحِبِيْبِ عُمَرُ ظَاهِرًا اَمَّا فِى الْحَقِيْقَةِ فَهِيَ اِلى اللهِ  ؟

ج   : جَازَتْ ِلأَنَّ الْحَبِيْبَ عُمَرُ  مُـنْدَرِجٌ فِيْ اَهْلِ بَيْتِ رَسُوْلِ اللهِ وَهُوَ وَلِيُ اللهِ عِنْدَنــَا حَقًّا لاَ شَكَّ فِـيْهِ – كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : تَوَسَّلُوْا بــــِيْ وَبِأَهْلِ بَـيْـتِيْ فَإِنَّه لاَ يُرَدُّ مُـتَوَسِّلٌ بـــِنَا (رَوَاهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِيْ صَحِيْحِهِ )مَثَلُ اَهْلِ بَـيــْتِيْ فِيْكُمْ مِثْلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ فِيْ قَوْمِه مَنْ رَكِبَ نــَجَاوَمَنْ تَخـَلَّفَ  عَنْهَا غَرِقَ .

Soal     :   Bolehkah memanggil gurunya dengan ucapan Yaa hadii, yaa ‘aliim, yaa khobiir, yaa mubiin, yaa waliy, yaa hamiid, yaa qowiim, yaa hafiidz ? yag dimaksud guru disini adalah Habib Umar, dalam ucapannya, adapun hakekatnya adalah memohon kepada Allah SWT ?
Jawab  :  Boleh, karena Habib Umar termasuk ahli bait Rasulullah SAW da waliyullah (pendapat kami), sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda : “bertawassullah kamu sekalian dengan ku dan dengan keluargaku, sesungguhnya tidak akan ditolak orang yang bertawasssul dengan kami. (H.R. IBNU HIBBAN dalam shohihnya). Begitu pula IMAM HAKIM meriwayatkan dari Sahabat Abu Dzarrin, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Ahli Baitku bagimu laksana kapalnya Nabi Nuh AS. bagi kaumnya, orang yang mengikuti kebaikan akan selamat dan oang yang tida mengikuti dalam kebaikan akan tenggelam”.

قَالَ الْمُـنَاوِيْ وَلـِهَذَا ذَهَبَ جَمْعٌ اِلى اَنَّ قُطْبَ اْلأَوْلِيَاءِ فِيْ كُلِّ زَمَانٍ لاَ يَكُوْنُ اِلاَّ مِنْهُمْ – وَمُرِ يــْدُ الْحَبِيْبُ عُمَرُ يَشْهَدُوْنَ اَ نــَّه قُطْبُ اْلأَوْلِيَاءِ فِيْ زَمَانِنَا هذَا لاَ شَكَّ فِـيْهِ  - وَهذَا الْحَدِ يــْثُ دَالٌّ عَلى اِبَاحَةِ اْلإِسْتِغَاثَةِ الْمُرِ يْدِ لِشَيْخِهِ الْمُرْشِدِ تُسَمّى رَابـــِطَةً . وَ الْحَبِيْبُ عُمَرُ مِنْ بَعْدِ اَهْلِ الْكِرَامِ وَارَثــُوْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً وَفِعْلاً وَحَالاً – وَالْوِرَاثَةُ الـتَّامَّةُ بِمَجْمُوْعٍ ذلِكَ الـثَّلاَثِ كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الشَّرِ يْعَةُ اَقْوَالِيْ وَالطَّارِيْقَةُ اَفْعَالِيْ وَالْحَقِيْقَةِ اَحْوَالِيْ وَ الْمَحَبَّةُ ِلأَهْلِ اللهِ وَاجِبٌ لاَ مَحَالَةَ ِلأَ نــَّهُمْ اَهْلُ الصَّفَا وَ الْوَفَابَلْ لِمَنْ اِتَّبَعَ اثَارَهُمْ .

IMAM MUNAWY berkata : karena ini berpendapatlah para ulama : sesungguhnya kutubul auliya, dalam setiap masa itu terdiri dari mereka ahli bait Nabi, dan murid-murid Al-Habib Umar, termasukkutubul auliya dizaman kita, dan hadits-hadits ini menunjukkan tentang bolehnya seseorang murid minta tolong kepada seorang guru dan hal itu dinamakan robithoh artinya ikatan hati murid dengan gurunya. Dan Habib Umar adalah orang yang mulia, lagi pula dzurriyat Rasulullah SAW, dan ahli warisnya dalam ucapan, perbuatan, dan keadaannya. Dan warisan yang paling sempurna adalah tiga : ucapan, perbuatan (kelakuan), dan i’tikad (kata hati) sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda : “Syari’at adalah ucapanku, Thoriqot adalah perbuatanku, Hakekat adalah keadaanku. Dan mencintai Ahlullah adalah wajib, sebab merekalah orang yang tergolong ahlushshafa wal wafaa (orang yang bersih dan mengabdikan diri kepada Allah) bahkan bagi orang yang mengikuti jejak langkah mereka (ahlushshafaa wal wafaa).

وَقَالَ سُفْيَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ اَحَبَّ مَنْ يُحِبُّ اللهَ فَإِنــَّمَا اَحَبَّ اللهَ – وَمَنْ اَكْرَمَ مَنْ يُكْرِمُ اللهَ فَإِنــَّمَا يُكْرِمُ اللهَ - وَ الْحَبِيْبُ عُمَرُ مِنْ جُمْلَةِ اَهْلِ الصَّفَا وَالْوَفَا – وَفِيْ حَدِ يْثٍ طَوِيْلٍ عَنْ سَيِّدِنــَا عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قِـيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ الُ مُحَمَّدٍ اَلَّذِ يْنَ اُمِرْنـَا بـــِحُـبِّـهِمْ وَاِكْرَامِهِمْ وَ الْبُرُوْرِ بــِــهِمْ فَقَالَ اَهْلُ الصَّفَا وَ الْوَفَا مَنْ امَنَ بِيْ وَاَخْلَصَ : يَا اِخْوَانِيْ اِسْتَفْهِمُوْا بــِالْقَاعِدَةِ لِلأَوْلِيَاءِ لِــئـــَلاَّ تَكُوْنُوْا مُـنْدَرِجًا فِى الْحَدِ يْثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَادى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ اذَ نــْتُه بِالْحَرْبِ .

IMAM SUFYAN berkata : Sesungguhnya orang yang cinta kepada orang yang mencintai Allah, berarti orang tersebut mencintai Allah, dan orang yang memuliakan erhadap orang yang memuliakan Allah, berarti orang tersebut memuliakan Allah. Dan sebuah Hadits yang panjang dari Sayyidina Umar r.a. Bahwa Rasulullah SAW ditanya : Siapakah aalu (Keluarga) Muhammad yang harus kami cintai dan harus kami muliakan ? dan kami diperintah untuk berbuat baik kepada mereka ?. Maka berkata ahlush shafaa wal wafaa : yang beriman kepadaku dan ikhlas. Hai saudara-saudaraku fahamilah hadits-hadits auliya, agar kalian tidak termasuk golongan yang dikecam oleh Allah. Dialam hadits Qudsi diterangkan : Barang siapa memusuhi kekasihku, maka kami memberitahu kepadanya dengan perang.

س  : هَلْ يَجُوْزُ  لِلْمُرِ يْدِ اَنْ  يَدْعُوْا شَيْخَه  خَلِيْفَةَ  رَسُوْلِ اللهِ ؟

ج   : نــَعَمْ  يَجُوْزُ , كَمَا  قَالَ  رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى  اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ فِى  اْلأَذ  ْكِيَاءِ   ص  ٨٣ : عَلى  خُلُفَائِيْ  رَحْمَةُ  اللهِ  وَ  يُـعَلِّمُـهَا  , قِـيْلَ  وَمَنْ خُلَفَاءُكَ ؟  قَالَ  : اَلَّذِ  يْنَ  يُحْيُوْنَ  سُـنَّتِيْ وَ  يُعَلِّمُوْنــَهَا  عِبَادَ  اللهِ , وَ  سَيِّدِيْ شَيْخُـنَا  الْمُكَرَّمْ  مِمَّنْ  يُحْيِيْ  سُنَّةَ  الرَّسُوْلِ  وَ يُعَلِّمُـهَا  عِبَادَ  اللهِ  صَرْحًا  فِيْ  هذَا  الزَّمـَانِ  - لاَ  سِيَمَا هُوَ  يُعَلِّمُ  الشَّـهَادَ تــَيْنِ لِمَنْ شَاءَ .

Soal     :   Bolehkah murid berdo’a (Tawassul) kepada gurunya dengan mengucapkan ucapan khalifatu Rasulillah ?
Jawab  : Ya boleh, seperti Sabda Rasulullah SAW yang tertera dalam Syarah Azkiya halaman 83 : “Rakhmat Allah mudah-mudahan tetap atas khalifahku”. Sebagian sahabat bertanya : “Siapakah khalifah-khalifahmu ya Rasulullah ?”. Nabi SAW menjawab : “Khalifah-khalifahku dalah orang-orang yang menghidupkan dan mengamalkan sunnah-sunnahku dan mengajarkan kepada hamba-hamba Allah”. Sedangkan guru kita yang mulia (Al-Habib Umar Bin Isma’il Bin Yahya) sebagian dari orang yang menghidupkan, mengamalkan dan mengajarkan kepada hamba Allah akan sunnah-sunnah Rasul yang tidak diamalkan oleh umat Islam masa sekarang ini terutama mengajarkan dua kalimat syahadat.

س  : هَلْ  يَجُوْزُ  اِسِْعْمَالُ  اِسْمٍ مِنْ  اَسْمَائِه  تَعَالى اَلْحُسْنى   ِلأَحَدٍ ؟

ج   : نــَعَمْ يَجُوْزُ   كَمَا  هُوَ  مَكْتُوْبٌ  فِيْ سُلَمِ  الـتَّوْفِيْقِ  ص ٤ :  إِنَّ  اللهَ  اَعْطى  الْعَبْدَ  اَوْ  صَفًا  وَاُطْلِقَتْ  عَلَيْهِ  كَمَا  اُطْلِقَةْ  عَلَيْهِ  تَعَالى  تَشْرِ يــْفًا  لِلْعَبْدِ كَالْعَالِمِ  وَالْحَيِّ لَكِنَّـهَا  مُـبَايـــِنَةٌ  مُغَايـــِرَةٌ  لِصِفَاتِ الْبَارِيْ  تَعَالى  فِيْ  الْحَقِيْقَةِ .

Soal     :  Bolehkah memakai asma’ul husna (nama) dari Asma Allah untuk seseorang ?
Jawab  :  Ya Boleh sebagaimana dijelaskan dalam kitab Sulam Taufiq halaman 4 : Allah SWT telah memberikan kepada hamba-Nya (Adam AS.) beberapa sifat dan digunakan sebagai nama. Digunakannya nama itu bagi Allah SWT adalah sebagai penghormatan kepada hamba itu. Misalnya aku hidup …… dan sebagainya, akan tetapi jelas berbeda dengan sifat Allah SWT pada hakekatnya.

س  : هَلْ  يَجُوْزُ  الذِّكْرُ  بـــِقِيَامٍ وَقُعُوْدٍ  وَغَيْرِهِمَا ؟

ج   : نــَعَمْ يَجُوْزُ  كَمَا  فِى  اْلأَذْكَارِ ص ٧ : مَا  نــَصُّه  اِعْلَمْ اَنَّ فَضِيْلَةَ الذِّكْرِ  غَيْرَ  مُـنْحَصِرَ ةٍ  فِى  الـتَّسْبِيْحِ  وَ الـتَّهْلِيْلِ  وَالـتَّحْمِيْدِ وَالـتَّكْبِيْرِ  وَ نــَحْوِهَا بَلْ  كُلُّ عَامِلٍ  ِللهِ  تَعَالى  بــِطَاعَةٍ  فَهُـوَ  ذَاكِرُ اللهِ  تَعَالى .  كَذَا  قَالَه  سَعِيْدُ ابْنُ  جُــبَيْرٍ  رَضِيَ  اللهُ  عَـنْهُ   وَغَيْرُه  مِنَ  الْعُلَمَاءِ .  وَقَالَ  اِبْنُ عَبَّاسٍ  فِى  تَفْسِيْرِ  قَوْلِه تَعَالى : وَالذَّاكِرِ يْنَ  اللهَ  كَثِيْرًا  وَالذَّاكِرَاتِ  اَعَدَّ اللهُ  لَهُمْ  مَغْفِرَةً  وَاَجْرًا عَظِـيْمًا . اَلـــْمُرَادُ  يَذ ْكُرُوْنَ  اللهَ فِى  اَدْ بَارِ  الصَّلَوَاتِ  وَغُدُوًّا وَعَشِيًّا وَمُضْطَجِعًا وَكُلَّمَا اِسْتَيْقَظَ مِنْ  نــَوْ مِه  وَكُلَّمَا غَدًا اَوْرَاحَ  مِنْ مَنْزِ لِه  ذِكْرُ  اللهِ تَعَالى . وَقَالَ  مُجَاهِدٌ لاَ يَكُوْنُ  مِنَ الذَّكِرِ يْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ  حَـتّى  يَذ ْكُرُ قَائِمًا وَقَائِدًا وَمُضْطَجِعًا .

Soal     :   Apakah boleh berdzikir sambil berdiri, sambil duduk dan lainnya ?
Jawab  :  Ya, boleh, Berdzikir dalam posisi apapun kecuali seperti pada waktu buang air besar, maksiyat, seperti diterangkan dalam kitab ADZKAR halaman 7, demikian : “ketahuilah bahwa keutamaan dzikir itu tidak di khususkan pada ucapan tasbih, tahmid, takbir, dan semacamnya. Bahkan setiap orang beramal karena Allah dengan taat,itu termasuk orang yang dzikir kepada Allah. Begitu pula dikatakan oleh Said Bin Jabir r.a. dan yang lainnya yakni dari para ulama berkata Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah : Yang dimaksud adalah mereka yang berdzikir kepada Allah , setelah melaksanakan shalat, pada waktu pagi, waktu sore, berdzikr sambil tiduran, dan setiap bangun dari tidurnya, dan tiap-tiap berangkat pagi atau pulang sore ke rumahnya, maka dia berdzikir kepada Allah. Berkata Imam Mujahid : “Tidak termasuk orang yang banyak berdzikir kepada Allah, kecuali dia berdzikir sambil berdiri, duduk, dan tiduran.

وَفيِ   ْ  فَـتَاوِيْ  الْخـَلِيْلِ  ص ٢٥٩  مَا نــَصُّه  وَرَوِيَ  الْحَافِظُ  اَبُوْ نــَعِيْمٍ اَحْمَدُ  ابْنُ  عَـبْدِ  اللهِ  اْلاَصْفِهَانِيْ  بـــِسَنَدِه  عَنْ  عَلِيٍّ اِبْنِ  اَبـــِيْ  طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ  عَـنْهُ  اَنـــَّه  وَصَفَ  الصَّحَابَةَ  يَوْمًا  فَقَالَ :  كَانــُوْا  اِذَا  ذَكَرُوْا  اللهَ  مَادُوْا  كَمَا  تَمِيْدُ  الشَّجَرُ  فِى  الْيَوْمِ  الشَّدِ يــْدِ  الرِّ  يْحِ وَجَرَتْ  دُمُوْعُهُمْ  عَلى ثِـيَابـــِــهِمْ .

Dan tersebut dalam kitab FATAWY AL-KHALILI halaman 259 sebagai berikut : meriwayatkan Imam Khafidz Abu Na’im dengan Sanadnya dari sahabat Ali Bin Abi Thalib, bahwa beliau pada suatu hari menerangkan keadaan para sahabat, mereka berdzikir kepada Allah SWT, maka mereka bergerak-gerak, seperti gerakannya pohon yang diterpa oleh hembusan angin besar, dan mereka berdzikir sambil menangis, air matanya membasahi pakaiannya.

وَقَالَتْ  عَائِشَةُ  رَضِيَ  اللهُ  عَـنْهَا  كَانَ  النَّبِيُّ  صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ  يَذ ْكُرُ اللهَ  تَعَالى فِيْ  كُلِّ  اَحْيَانِه  فَعَلى هذَا  اَنَّ  الرَّجُلَ  غَيْرُ  مُؤَاخَذٍ بـــِمَا  يــَـتَــحَرَّكُ  وَيــَقُوْمُ  وَيــَقْعُدُ  وَ يــَلْبَثُ  فِى الذِّكْرِ  - وَقَالَ تَعَالى  فيِ  ْ  سُوْرَةِ  الـنِّسَاءِ  ١٠٣  : فَاِذَا  قَضَيْتُمُ  الصَّلوةَ  فَاذ ْكُرُوْا  اللهَ  قِيَامًا  وَّقُعُوْدًا  وَّعَلى  جُنُوْبـــِـكُمْ جـ فَإِذَا  اِطْمَأْ نــَنْـتُمْ  فَأَقِـيْمُوْا  الصَّلوةَ  إِنَّ الصَّلوةَ  كَانــَتْ  عَلى الْمُؤْمِنِيْنَ  كِتَابًا  مَوْقُوْتًا . وَفِـيْهِ اَيْضًا مِنْ  الِ  عِمْرَانَ  : ١٩٠ – ١٩١ : إِنَّ  فِيْ  خَلْقِ  السَّموتِ وَاْلاَرْضِ  وَاخْتِلاَفِ  اللَّيْلِ  وَالـنَّـهَارِ  لايتٍ  ِلأُلِى  اْلأَلْبَابِ  -  اَلَّذِ يْنَ  يَذ ْكُرُوْنَ  اللهَ  قِيَامًا  وَّقُعُوْدًا  وَّعَلى  جُنـُوْبـــِهِمْ  وَ  يَتَفَكَّرُوْنَ  فِيْ  خَلْقِ  السَّموتِ  وَاْلأَرْضِجـ رَ بـَّــنَا مَا خَلَقْتَ هذَا  بَاطِلاً جـ سُـبْحَانــَكَ  فَقِنَا عَذَابَ الـنَّارِ . وَفِيْ  هَا تَـيْنِ  اْلأيــَتَـيْنِ  تَصْر  يـــْـحٌ بـــِوُجُوْدِ  الـتَّحَرُّكِ  وَ اْلإِضْطِرَابِ   وَقْتَ  الذِّكْرِ  اِذ  ْ لاَ يُوْجَدُ  الْقِيَامُ  وَالْقُعُوْدُ  وَاْلإِضْطِجَاعُ  اِلاَّ مَعَ التَّحَرُّكِ كَتَحَرُّكِهِمْ  فِى اْلقِيَامِ  عِنْدَ  ذِكْرِ  وِلاَدَةِ  النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dan berkata Siti Aisyah r.a. Bahwa Nabi SAW berdzikir kepada Allah SWT., dalam seluruh waktunya. Kesimpulan dari hadits ini bahwa orang tidak bisa disalahkan berdzikir dengan gerakannya atau sambil duduk, sambil berdiri, atau tenang (tidak bergerak-gerak). Dan Firman Allah SWT dalam surat AN-NISA’ ayat 103 dijelaskan : “Apabil kamu telah selesai mengerjakan shalat hendaklah kamu ingat kepada Allah (berdzikir kepada Allah), dengan berdiri, begerak dan berbaring. Apabila kamu telah aman (tenang) maka dirikanlah shalat sebaik-baiknya. Sesungguhnya shalat itu diperlukan atas orang-orang mukmin pada waktunya (shalat itu diwajibkan atas semua orang mukmin)”. Dan didalam surat ALI-IMRAN ayat 190-191 : “Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang menjadi tanda atas kekuasaan Allah SWT bagi orang-orang yang berakal yaitu orang-orang yang mengingat Allah (berdzikir kepada Allah) ketika berdiri, duduk, dan saat berbaring. Dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi sambil berkata : Ya tuhan kami, bukankah engkau jadikan ini dengan percuma (sia-sia). Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Dalam dua ayat ini ada penjelasan dengan adanya gerakan-gerakan pada waktu berdzikir. Karena berdiri, duduk dan berbaring, itu merupakan gerakan seperti gerakannya mereka yang berdiri ketika mendengarkan cerita kelahiran Nabi Muhammad SAW.

وَفِيْ  مَدَارِجِ  الصُّعُوْدِ  ص  ٥١  وَفِيْ فَشْنِيْ ص ٩١ مَا  نــَصُّه  :  وَاَنْ  تَـنْهَضَ  اْلاَشْرَافُ  عِنْدَ  سَمَاعِه  #  قِيَامًا  صُفُوْفًا  اَوْ جِثِيًّا عَلى  الرُّكَبِ .  وَقَدْ قَامَ  الشَّيْخُ  تَقِيُّ  الدِّ يْنِ  السُّبُكِيْ  حَالاً  عِنْدَ سَمَاعِه  صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ – وَقَالَ  الشِّبْرَا  مِلِّسِيْ جَرَتْ  عَادَةُ  كَثِيْرٍ  مِنَ  الْمُحِبِّيْنَ  إِذَا  سَمِعُوْا  بـــِذِكْرِ  وَضْعِه  صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ :  اَنْ يَقُوْمُوْا  تَعْظِـيْمًا لَه  صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ .

Dan tersebut dalam kitab MADARIJISSU’UD halaman 15 dan didalam kitab FASYNI halaman 91 syair mengatakan : Orang yang mulia, mereka bangun ketika mendengar asma Nabi disebut, sambil berdiri dan berbaris atau berdiri diatas lutut.
Dan IMAM TAQIYUDDIN ASSUBUKI, beliau pasti bangun ketika mendengar sebutan asma Nabi. IMAM SIBRO MALISI mengatakan : merupakan kebiasaan orang-orang dari golongan mukhibbin, mereka berdiri ketika mendengar sifat-sifat Nabi SAW karena mengagungkan beliau.

وَفِى  اْلأَذ  ْكَارِ  ص ٦  مَانــَصُّه  ( فَصْلٌ )  اِعْلَمْ  اَنــَّه  كَمَا  يُسْتَحَبُّ  الذِّكْرُ  يُسْتَحَبُّ  الْجُلُوْسُ  فِى  حِلَقِ   اَهْلِهِ  وَقَدْ  تَظَاهَرَتْ  َاْلأَدِلَّةُ عَلى  ذلِكَ  الخ  .وَ يَكْفِيْ  فِيْ  ذلِكَ  حَدِ يْثُ  ابْنُ  عُمَرَ  رَضِيَ اللهُ  عَنْهُ  قَالَ : قَالَ  رَسُوْلُ  اللهِ  صَلَّى  اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ :  إِذَا  مَرَرْتُمْ بـــِرِ يَاضِ  الْجَنَّةِ  فَارْتَعُوْا  - قَالُوْا  وَمَا  رِ يَاضُ   الْجَنَّةِ  يَا رَسُوْلَ اللهِ -  قَالَ حِلَقُ  الذِّكْرِ  فَإِذَا  اَتَوْا  عَلَيْهِمْ  حَفُّوْا بـــِـهِمْ .

Dan tersebut dalam kitab ADZKAR pada halaman 6 : “Ketahuilah bahwa sebagaimana disunnatkan berdzikir, juga disunnatkan duduk-duduk dilingkungan dzikir, dan amat jelas dalil-dalil yang menunjukkan hal itu. Hadits Ibnu Umar r.a. ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW : “Apabila kalian melewati taman-taman surga maka menggembalalah disana (mampirlah disana)”. Mereka bertanya : “Apakah taman surga itu ya Rasulullah ?”. Rasulullah SAW menjawab : “Taman surga adalah lingkungan dzikir dan apabila mereka menghadirinya, dengan duduk berlingkar”.

قَالَه  اَلْحَبِيْبُ  مُحَمَّدْ بــِنْ  اَحْمَدْ  اَلْمَحْضَارِ سُوْرَابَايَا : ِلأَنْ  لَمْ يَقُوْمُوْا  كُلُّهُمْ  بـــِإِحْتِرَامِهِ # سَيَلْقَوْنَ  جَهْلاً  مِنْ  جَهُوْلٍ  وَحَطْبَه

Telah berkata Al-Habib Muhammad Bin Ahmad Al-Mahdhor Surabaya :
“Andaikata mereka tidak berdiri untuk memuliakannya maka mereka akan mendapat kebodohan dan bahayanya”.

الإِ نـــْسَانُ  لاَ  يَكْفُرُ  بـــِفِعْلِ الْمَعْصِيَةِ   ,  وَلكِنْ  يَكْفُرُ  بـــِـتَرْكِ  الْحُرْمَةِ

Manusia tidak murtad (kufur) dengan mengerjakan maksiyat, akan tetapi dia kufur sebab meninggalkan hormat (tidak hormat).

وَقَوْلُه  تَعَالى  فِى  الْحَدِ يــْثِ   الْقُدْسِيِّ  اِنَّ  لِيْ  عِبَادًا  يُحِبُّوْنِيْ  وَاُحِبُّهُمْ  وَ يَسْتَاقُوْنَ  اِلَيَّ  وَاَسْتَاقُ اِلَيْهِمْ  وَيَذ ْكُرُوْنِيْ  وَاَذ ْكُرُهُمْ  قَالَ  اَيْ  بَعْضُ  الصِّدِّ يــْقِيْنَ  : يَا رَبِّ  مَا عَلاَمَتُهُمْ : فَمِنْهُمْ  صَارِخٌ  وَبَاكٍ  مُتَؤَوِّهٌ  وَشَاكٍ  وَمِنْهُمْ قَائِمٌ  وَرَاكِعٌ  وَصَاجِدٌ  فَأَوَّلُ  مَا اُعْطِيْهِمْ  ثَلاَثُ حِصَالٍ : َاْلأُوْلى  اَقْذِفُ  فِيْ  قُلُوْبــِهِمْ  مِنْ نــُوْرِيْ -  اَلـثَّانِيَةُ  لَوْ  كَانــَتِ  السَّموتُ  وَ اْلأَرْضُ  فيِ  ْ  مَوَازِيــْـنِـهِمْ  لاَسْتَـقْـلَلْتُـهَا  لَهُمْ -  الـثَّالِـثَةُ  اُقْبِلُ  بـــِوَجْهِيْ  اَلْكَرِ يْمِ  عَلَيْهِمْ . اهـ . فَشْنِيْ  ص  ٩١  ( فَائِدَةٌ )  وَقَدْ  رَوَيْ  اِبْنُ  الْجُوْزِيْ  عَنْ  سُفْيَانَ  اِبْنِ  عُـيَـيْـنَةَ  اَنـــَّه قَالَ  عِنْدَ  ذِكْرِ  الصَّالِحِيْنَ  تــَـتــَنَزَّلُ  الرَّحْمَةُ . اهـ . ص ١٩  خَيْرَاتُ  الْحِسَانِ ٢٦

Dan dalam hadits qudsi, Allah berfirman : Bahwa aku mempunyai hamba, hamb yang mencintaiku dan aku mencintai mereka, dan mereka merindukanku, akupun rindu kepada mereka. Mereka menyebut-nyebut aku, dan akupun menyebut-nyebut mereka. Sebagian orang (Shiddiqiin) bertanya : Ya Allah bagaimana ciri-ciri mereka ?. ciri-ciri mereka diantaranya adalah berteriak-teriak dan menangis sambil memanggil-manggil serta mengaduka persoalan kepadaku, dan diantara mereka, ada yang ruku’, ada yang berdiri, ada yang sujud. Maka yang pertama aku berikan kepada mereka tiga hal :
Yang pertama : aku meletakkan nur-ku sendiri dalam hati mereka
Yang kedua : apabila langit dan bumi beserta isinya ditimbang dengan amal mereka , pasti aku katakan timbangan itu sedikit dibandingkan amal mereka.
Yang ketiga : aku hadapkan wajahku kepada mereka.
Tersebut dalam kitab FASYNI Halaman 91. (Faidatun) Imam Ibnu Juzi dari Ibnu Sufyan Bin Uyainah, beliau berkata : “Apabila disebut-sebut orang yang soleh, maka turunlah rokhmat terebut”. Dalam Kitab Khoirotul khisan halaman 19.

س  : كَيْفَ حُكْمُ  ذِكْرِ  الْجَهْرِ  بَعْدَ  السَّلاَمِ  مِنَ  الصَّلاَةِ  ؟

ج   : حُكْمُه  سُـنَّةٌ  لِقَوْلِه  تَعَالى  : فِيْ  بُيُوْتِ  اَذِنَ  الله ُ  اَنْ تُرْفَعَ  وَيُذكَرَ  فِيْهَا  اسْمُه  يُسَبِّحُ  لَه  فِيْهَا  بالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ  } النُّوْرُ ٣٦{

Soal     :   Bagaimanakah hukum berdzikir dengan suara keras setelah salam dari shalat?
Jawab  :   Hukumnya sunnah karena Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 36 ; “didalam masjid, Allah mengizinkan dzikir dikeraskan, disebut didalamnya akan asma-Nya, memaha sucikan kepada-Nya didalam masjid di waktu pagi dan sore”.

وَفيِ   ْ فَـتَاوِيْ  الْخَلِـيْـلِيْ  ص  ٢٦٢  مَا نــَصُّه  اَلذِّكْرُ  كَالْقِرَاءَةِ بـــِصَرِ  يْـــحِ  اْلأيــَاتِ  وَ الرِّوَايَاتِ  وَ الْجَهْرُ  بـــِه  اَفْضَلُ  وَ دَلِيْلُ  اَفْضَلِيَةِ  الْجَهْرِ  اَنَّ  الْعَمَلَ   فِـيْهِ  اَكْبَرُ  وَ ِلأَنــَّه  يَـتَعَدّى  نــَفْعُه  مِنْهُ  اِلى  غَيْرِهِ  وَِلأَنــَّه  يُوْقِظُ  قَلْبَ  الْقَارِئِ  وَ يــَجْمَعُ  هِمَّـتَه  اِلى  الْفِكْرِ  وَ يُصْرِفُ  سَمْعَه  اِلَـيْهِ  وَ ِلأَنــَّه  يَطْرُدُ  النَّوْمَ  وَ يَزِ يْدُ  فِى  النَّشَاطِ  وَ يُوْقِظُ  غَيْرَه  مِنْ نــَائِمٍ  وَغَافِلٍ  وَيُنْشِطُه  فَمَـتى  حَضَرَه  شَيْئٌ  مِنْ هذِهِ  الـنِّـيَاتِ  فَالْجَهْرُ  اَفْضَلُ .

Dan tersebut dalam kitab FATAWY AL-KHALILY Halaman 262 sebagaimana berikut : Dzikir adalah seperti membaca Al-Qur’an dengan keterangan ayat dan beberapa riwayat, dan dzikir dengan suara keras itu lebih utama. Dan dalil yang menunjukkan keutamaannya dzikir dengan suara keras, bahwasanya beramal dengan suara keras itu lebih besar manfaatnya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, membangunkan hati pembaca, menyatukan himmah, mengumpulkan cita-cita dan pikiran, mengkhususkan pendengaran. Dan dengan suara keras, hilanglah rasa kantuk, bertambah giat, membangunkan yang oranglain dari tidur dan lupa, dan menggiatkannya, maka apabila dengan niat-niat ini, berdzikir dengan suara keras itu lebih utama.

وَقَدْ  جَاءَ  فِى  الْحَدِ يــْثِ  الْقُدْسِيِّ  مَا اِقْتَضى  طَلَبَ  الْجَهْرِ  كَقَوْلِهِ صَلَّى الله ُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ :  قَالَ  اللهُ  تَعَالى :  وَاِنْ  ذَكَرَ نِيْ  فيِ  ْ  مَلاَءٍ ذَكَرْ تُه  فيِ  ْ  مَلاَءٍخَيْرٍ مِنْهُ  ] رَوَاهُ  الْبُخَارِيْ  وَمُسْلِمٌ  وَالتُّرْمَذِيُ وَالنَّسَائِىُ وَ اِبــْنُ  مَاجَهُ  [ وَ الذِّكْرُ  فِى  الْمَلاَءِ  لاَ يَكُوْنُ  اِلاَّ عَنْ جَهْرٍ

Dan tertera dalam hadits qudsi yang tujuannya diperintahkan berdzikir dengan suara keras, sebagaimana hadits ini : Allah SWT berfirman : Dan apabila dia menyebut-nyebut aku di suatu tempat yang ramai, maka akupun menyebut-nyebutnya di tempat yang lebih ramai darinya (H.R. Bukhari, Muslim, Nasa’i, da Ibnu Majah). Dan menyebut di tempat ramai itu tidak ada kecuali dengan suara keras.

وَفَيْ  رِمَاحِ  حِزْبِ  الرَّحِيْمِ  ص ١٦٧  مَا نــَصُّه  عَنْ عَبْدِ  اللهِ  ابْنِ  عَبَّاسٍ  رَضِيَ  اللهُ  عَنْهُمَا  :  اِنَّ  رَفْعَ  الصَّوْتِ  بِالذِّكْرِ حِيْنَ  يَنْصَرِفُ  النَّاسُ  مِنَ  الْمَكُتُوْبَةِ   كَانَ  عَلى  عَهْدِ  رَسُوْلِ اللهِ  صَلّى  اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ.

Dan tersebut dalam kitab RIMAHI HIZBIRROHIIM halaman 167 sebagaimana berikut : Dari Abdullah Bin Abbas r.a. : Bahwa berdzikir dengan suara keras ketika selesai dari shalat itu sudah ada sejak masa Rasulullah SAW.

وَفِيْ رِمَاحِ  حِزْبِ  الرَّحِيْمِ  جُزْءٌ  اَوَّلٌ  ص  ١٦٧  فِى  التَّرْغِيْبِ  فِى  اْلإِجْمَاعِ   لِلذِّكْرِ  وَ الْجَهْرِ  بــِهِ  وَ الْحَضِّ  عَلَيْهِ  وَ اْلإِعْلاَمِ  بــِأَنــَّه  مِمَّا  يَـنــْبَغِى  التَّمَسُّكُ  بـــِهِ  لِفَضْلِهِ  وَالرَّدِّ  عَلى  مَنْ  يُـنْكِرُ  عَلى  الذَّاكِر ِيْنَ  جَمَاعَةً  لِجَهْلِه  بِالْكِتَابِ  وَ السُّـنَّةِ   وَاِجْمَاعِ  اْلأُمَّةِ .

Dan tersebut dalam kitab RIMAHIHIZBIRROHIIM Juz Awal halaman 167 : Dalam menyenangkan (membiasakan) saat berkumpul untuk berdzikir dan bersuara keras, dan menganjurkan atasnya. Dan memberitahu bahwa bersuara keras itu patut untuk dipegangnya karena keutamaannya dan menolak terhadap orang yang mengingkari berdzikir dengan berjamaah karena kebodohannya dengan kitab, hadits dan sepakatnya para ulama.

وَفِيْ  رِمَاحِ  حِزْبِ  الرَّحِيْمِ  ص  ١٧٢  وَاَسْتَدَلَّ  الْجُمْهُوْرُ  بِالْحَدِ يـْثِ  الْمَذ ْكُوْرِ  عَلى  سُــنِّـيَةِ   الْجَهْرِ  بِالْقِرَاءَةِ  وَالدُّعَاءِ  خِلاَفًا  لِمَا  شَدَّ  بـــِه بَعْضُ  السَّلَفِ  عَلى  اِسْتِحْبَابِ  رَفْعِ الصَّوْتِ  بِالتَّكْبِيْرِ  وَالذِّكْرِ  عَقِبَ الْمَكْتُوْبَةِ وَمِمَّنْ  اِسْتَحَبَّه مِنَ  الْمُتَأَخِّرِ  يْنَ  اِبْنُ  حَزْمٍ

Dan tersebut dalam kitab RIMAHI HIZBIRRAHIIM, halaman 172. Dan jumhur mengambil dalil dengan hadits tersebut, atas disunnahkannya dzikir dengan suara keras pada waktru membaca dan berdo’a, kecuali dengan ucapannya orang yang syaz (sekehendak sendiri). Sebagian dari ulama salaf atas hadits ini, yakni disunnahkannya suara keras ketika bertakbir, berdzikir setelah shalat fardhu dan diantara yang menyamarkannya dari golongan muta’akhkhirin ialah Ibnu Khazmin.

وَفيِ  ْ مِــنَحِ  السَّـنِـيَّةِ  ص  ٨ وَاَمَّـا  قَوْلُه تَعَالى  :  وَاذ ْكُرْ  رَبَّكَ فِيْ  نـــَفْسِكَ  تَضَرُّعًا  وَحُفْيَةً – الاية – فَإِنــَّــهَا مَكِّــيَّةٌ  كَأيَةِ  اْلإِسْرَاءِ :  وَلاَ  تــَجْهَرْ  بـــِصَلاَتِكَ  وَلاَ تُخَافِتْ بـــِـهَا  :  نُزِلَتْ ِلأَنْ  لاَّ يَسْمَعُهُ  الْمُشْرِكُوْنَ  فَيَسُبُّوا الْقُرْآنَ  وَمَنْ اَنـــْزَلَه  فَأَمَرَ بـــِه  سَدًّا  لِلذَّرِيْعَةِ كَمَا  نــُهِيَ  عَنْ سَبِّ اْلأَصْـنَامِ  لِذلِكَ  وَقَدْ  زَالَ

Adapun firman Allah SWT yang artinya sebagai berikut : “Sebutlah Tuhan mu di hatimu dengan rendah diri dan menyamar”. Itu adalah ayat makiyyah seperti ayat Isra, yang maknanya : “Janganlah engkau mengerjakan shalat dengan terang-terangan”, ayat ini diturunkan agar tidak didengarkan oleh orang-orang musyrik, yang akhirnya mereka mencela al-Qur’an dan yang menurunkan al-Qur’an (Allah) maka diperintah dengan suara pelan untuk menghindari celaan, sebagaimana dilarang dari mencela berhala, yang buktinya sekarang tidak ada.

س  : هَلْ  فيِ الذِّكْرِ  بالْجَمَاعَةِ  فَائِدَةٌ ؟

ج   : نــَعَمْ فـِيْهِ فَائِدَةٌ  , قَالَ  فيِ  رِيَاضِ  الصَّالِحِيْنَ  وَفِيْ  رِوَايَةٍ  لِمُسْلِمٍ  عَنْ  اَبيْ  هُرَ يْرَةَ  t عَنِ  النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ  قَالَ : إِنَّ  ِللهِ  مَلاَئِكَةً  سَيَّارَةً  فُضَلاَءَ  يَتَّبِعُوْنَ  مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا  وَجَدُوْا مَجْلِسًا  فِـيْهِ  ذِكْرٌ  قَعَدُوْا  مَعَهُمْ  وَحَفَّ  بَعْضُهُمْ  بَعْضًا بأَجْنِحَتِهِمْ حَتّى يَمْلَوُا  مَا  بَيْنَهُمْ  وَ بـَـيْنَ  السَّمَاءِ الدُّ نـــْيَا  فَإِذَا  تَغَرَّقُوْا  عَرَجُوْا  وَصَعَدُوْا  اِلَى  السَّمَاءِ فَيَسْأَ لَهُمُ  اللهُ  عَزَّ وَ جَلَّ وَهُوَ اَعْلَمُ  مِنْ اَيْنَ  جِئـــْتُمْ  فَيَقُوْلُوْنَ  جِئـــْنَا  مِنْ  عِنْدِ  عِبَادِكَ  فيِ  اْلأَرْضِ  يُسَبِّحُوْنــَكَ وَيُكَبِّرُوْ نــَكَ  وَيُهَلِّلُوْنــَكَ  وَيُحَمِّدُوْنــَكَ  وَ يَســْئـــَلُوْنــَكَ  :  قَالَ  وَ مَاذَا  يَسْئـــَلُوْ نِيْ  قَالُوْا  يَسْئـــَلُوْنــَكَ  جَـنَّـتَكَ  قَالَ  وَهَلْ  رَأَوْا  جَنَّتِيْ  قَالُوْا  لاَ اَيْ  رَبِّ  قَالَ  فَكَيْفَ  لَوْ رَاَوْ  جَنَّتِيْ  قَالُوْا  وَ يَسْـتَجِيْرُوْنــَكَ  قَالَ  وَمِمَّا  يَسْتَجِيْرُوْنِيْ  قَالُوْا  مِنْ نــَارِكَ  يَارَبِّ  , قَالَ  وَهَلْ  رَاَوْ  نــَارِيْ  قَالُوْا  لاَ  قَالَ  فَكَيْفَ  لَوْ  رَاَوْا  نــَارِيْ  قَالُوْا وَ يَسْتَغْفِرُوْنــَكَ  فَيَقُوْلُ  قَدْ غَفَرْتُ  لَهُمْ  وَاَعْطَيْتُهُمْ  مَا سَأَلُوْا  وَ  اَجَرْتُهُمْ  مِمَّا اِسْتَجَارُوْا  قَالَ  يَقُوْلُوْنَ  رَبِّ  فـِيْهِمْ فُلاَنٌ  عَبْدٌ  خَطَّاءٌ  إِنَّمَا  مَرَّ  فَجَلَسَ  مَعَهُمْ  فَيَقُوْلُ  وَلَه غَفَرْتُ  هُمْ اَلْقَوْمُ  لاَ يَشْقِيْ  بِهِمْ  جَلِيْسُهُمْ

Soal     : Apakah Dzikir dengan berjama’ah itu ada faedahnya ?
Jawab  : Ya, ada, tersebut dalam kitab RIYADHUSSHOLIHIIN ; dan tertera dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW beliau telah bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai sekelompok malaikat yang ditugaskan untuk mencari lingkaran dzikir, maka apabila mereka menjumpai lingkaran dzikir, maka mereka duduk bersama orang-orang yang berdzikir, dan membuka sayap-sayap mereka, dan memenuhi majlis dzikir sampai ke langit, apabila mereka selesai berdzikir, maka para malaikat kembali ke langit, kemudian Allah bertanya kepada malaikat : Hai malaikat-malaikat ku, kalian dari mana ? Malaikat menjawab : Kami datang dari hamba-Mu di bumi, yang mereka mensucikan Tuhan, memuji, bertahlil, dan mereka memohon kepada Tuhan. Allah SWT bertanya : Apakah yang mereka pinta ? Malaikat berkata : Sorga-Mu, Allah SWT bertanya : Apakah mereka sudah mengetahui sorga-Ku ? Malaikat menjawab : belum mengetahui, Allah SWT bertanya : Bagaimanakah apabila mereka mengetahui sorga-Ku ? Jawab Malaikat : Dan mereka memohon selamat kepada-Mu, Allah SWT bertanya : Minta selamat kepada-Ku dari apa ? Malaikat menjawab : Dari Neraka-Mu, Allah SWT bertanya : Apakah mereka sudah mengetahui neraka-Ku ? Bertanyalah Malaikat : mereka mohon ampunan kepada-Mu, Allah SWT menjawab : Aku telah mengampuni mereka dan Aku akan mengabulkan permohonannya, dan Aku selamatkan mereka dari apa-apa yang mereka mohon (mohon selamat). Malaikat menjawab : Ya Tuhanku disitu ada si Fulan yang banyak dosanya, dan dia datang hanya untuk duduk bersama mereka, Allah SWT menjawab : Aku sudah mengampuninya, mereka adalah kaum yang tidak akan rugi bagi orang yang mengikutinya.

س  : مَا  سَبَبُ رَفْعِ  الْيَدَ يْنِ  عِنْدَ  الدُّعَاءِ ؟

ج   : وَسَبَبُه ِلأَنَّ  السَّمَاءَ  مَهْبَطُ  الْوَحْيِ  وَمَنْزِلُ  الْقَطْرِ  وَ مَحَلُّ  الْقُدْسِيِّ  وَمَعْدَنُ  الْمُطَـهَّرِ يْنَ  مِنَ  الْمَلاَ ئِكَةِ  وَاِلَيْهَا  تُرْفَعُ  اَعْمَالُ  الْعِبَادَةِ  وَفَوْقُهَا عَرْشُه وَجَنَّتُه  كَمَا جَعَلَ  اللهُ  الْكَعْبَةَ  قِبْلَةً لِلصَّلاَةِ .

Soal     : Apakah sebabnya mengangkat kedua tangan ketika berdo’a ?
Jawab  : Sebab langit itu tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujan, tempat suci, dan tempat malaikat, dan kelangitlah tempat diangkatnya amal ibadah dan diatas langitlah arasy dan surganya Allah SWَ
اكِمُ  فيِ  ْ مُسْتَدْرَكِهِ  . وَزَادَ  وَامْسَحُوْا بِهَا بِوُجُوْهِكُمْ .

Dalam Kitab IKHYA Juz awal alaman 275 Nabi SAW bersabda : “Apabila kamu memohon kepada Allah, mintalah dengan telapak tangan mu dan jangan dengan puggung tangan mu”. (HR.Abu Dawud dari Malik bin Yasir Al-Kufi dan Ibnu Majah da Thabrani dalam kitab KABIR, dan Imam Hakim dari Kitab Mustadroknya, dan Imam Hakim menambahkan : Dan usaplah mukamu dengan kedua telapak tangan mu.

س  : هَلْ يَجُوْزُ  الدُّعَاءُ مَعَ  رَفْعِ  الْيَدَ يــْنِ بـــِظُهُوْرِ  اْلأَيــْدِيْ  كَمَا  يَجُوْزُ  بــِبُطُوْنِهَا  ؟  هَلْ هُـنَاكَ  دَلِيْلٌ  يَدُلُّ  عَلى  ذلِكَ ؟

ج   : نــَعَمْ ,  ذُكِرَ  فيِ  ْ  كِتَابِ   فَـتــْحِ  الْمُبِيْنِ  بِشَرْحِ  اْلأَرْبَعِيْنَ  ص ١٣٩ : وَقَدْ  جَاءَ  اَنــَّه  صَلَّى  اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ  كَانَ  عِنْدَ  الرَّفْعِ  يَجْعَلُ  بُطُوْنَ  يَدَ يــْهِ  اِلى  السَّمَاءِ  وَ تَارَةً  يَجْعَلُ  ظُهُوْرَهُمَا  اِلى  السَّمَاءِ  .  وَحَمَلُوْا  اْلأَوَّلَ  عَلى  الدُّعَاءِ  بـــِحُصُوْلِ  مَطْلُوْبٍ  اَوْ دَفْعٍ  مَا قَدْ  يَقَعُ  بـــِه  مِنَ  الْبَلاَءِ  وَالثَّانِيَ  عَلى  الدُّعَاءِ  بِرَفْعِ  مَا وَقَعَ  بِه  مِنَ  الْبَلاَءِ .

Soal     : Apakah boleh berdo’a dengan mengangkat kedua telapak tangan sambil ditelungkupkan, sebagaimana diperbolehkannya berdo’a dengan menengadahkan telapak tangan ke langit ?
Jawab  : Boleh, bahkan sunnah, tertera dalam kitab Fatkhul mubin, syarah arba’in halaman 139 bahwa Rasulullah SAW ketika beliau berdo’a kadang-kadang menjadikan kedua telapak tangan menelungkup, pendapat ahli hadits bahwa berdo’a dengan menengadahkan tangan ke langit yakni ketika beliau memohon sesuatu yang di inginkan dan berdo’a dengan menelungkupkan tangan ketika memohon dihilangkan musibah-musibah (bencana).

س  : مَا  حَالُ  اْلإِمَامِ  بَعْدَ  السَّلاَمِ مِنَ  الصَّلاَةِ ؟

ج   : يُسَنُّ  حَالُ  اْلإِمَامِ اِسْتِقْبَالُ  الْمَأْمُوْمِيْنَ  بِوَجْهِه فِيْ  الدُّعَاءِ  وَلِكُلٍّ  جُلُوْسٌ ذَاكِرًا  ِللهِ  تَعَالى  بَعْدَ الصَّلاَةِ  الصُّبْحِ  إِلى  طُلُوْعِ الشَّمْسِ  )إِرْشَادُ  اْلعِبَادِ  ص  ٢٠(

Soal     :  Apakah yang dilakukan Imam setelah salam dari shalat ?
Jawab  :  Disunnahkan menghadap kepada Makmum dan masing-masing duduk berdzikir kepada Allah SWT, setelah shalat shubuh sampai matahari terbit (IRSYADUL IBAD Halaman 20)

س  : كَيْفَ حُكْمُ مَنْ يَّعْمَلُ بِحَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ فِيْ فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ؟

ج   : يَجُوْزُ  وَيُسْتَحَبُّ  الْعَمَلُ  فيِ الْفَضَائِلِ  وَالتَّرْغِيْبِ  وَالتَّرْهِيْبِ  بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ  مَالَمْ  يَكُنْ  مَوْضُوْعًا اَيْ  شَدِيْدَ  الضُّعْفِ )أذكَار النّواوي  ص ٧(

Soal     :  Bagaimana hukumnya memakai Hadits Dho’if dalam keutamaan beramal ?
Jawab  :  Boleh, dan disunnahkan memakai Hadits Dho’if dalam masalah fadha’il (keutamaan), Targhib dan Tarhib, asal bukan Hadits Maudhu’ (sangat dho’if) (ADZKAARUNNAWAWIY Halaman 7)

س  : مَا  مَعْنَى الِ  ادَمَ  وَالِ  جِبْرِيْلَ ؟

ج   : مَعْنَى الٍ عَلى ثَلاَ ثــَةِ مَعَانٍ :

     الأَوَّلُ  بِمَعْنَى  اَهْلٍ  اَيْ زَوْجَةٍ  وَاَوْلاَدٍ  وَّذُرِّ يَّاتٍ

     الــثَّانِيْ  بِمَعْنَى  نَفْسٍ  -  كَمَ قَالَ  تَعَالى : إِنَّ  اللهَ  إِصْطَفى  ادَمَ  وَنُوْحًا وَّالَ  إِبْرَاهِيْمَ  وَالَ عِمْرَانَ  عَلَى الْعَالَمِيْنَ  )ال عمران ٣٣( اُنْظُرْ فِيْ  تَفْسِيْرِ  الْجَلاَلَيْنِ

    الثَّالِثُ  بِمَعْنَى  اَعْوَانٍ  اَوْ  اَجْنَادٍ  أَوْ عَسْكَرٍ  كَمَا قَالَ  تَعَالى : وَإِذ  ْ  نَجَّيْنَاكُمْ  مِنْ الِ  فِرْعَوْنَ  ... الخ  )البقرة ٨( أُنْظُرْ  فيِ  تَفْسِيْرِ  صَاوِيْ  الْجُزْءُ اْلأَوَّلِ  ص  ٢٧

Soal     :  Apakah makna Ali Adam dan Ali Jibril ?
Jawab  :  Makna Ali terbagi atas 3 makna :
1.        makna Keluarga, yakni isteri, anak, dan keturunan
2.        makna Jiwa, seperti firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 33 :
إِنَّ  اللهَ  إِصْطَفى  ادَمَ  وَنُوْحًا وَّالَ  إِبْرَاهِيْمَ  وَالَ عِمْرَانَ  عَلَى الْعَالَمِيْنَ
3.        makna teman (bala tentara) seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 8 :
وَإِذ  ْ  نَجَّيْنَاكُمْ  مِنْ الِ  فِرْعَوْنَ  ... الخ

س  : هَلِ  الْقُعُوْدُ  بَعْدَ الصَّلاَةِ  الصُّبْحِ  اِلى  طُلُوْعِ الشَّمْسِ  فَضِيْلَةٌ ؟

ج   : نَعَمْ , فِيْهِ  فَضِيْلَةٌ – كَمَا فِيْ اِرْشَادِ الْعِبَادِ   ص  ٢٠  قَالَ  رَسُوْلُ  اللهِ  صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى  الْفَجْرَ  فِيْ جَمَاعَةٍ ثــُمَّ  قَعَدَ  يَذ ْكُرُ  اللهَ  تَعَالى  حَتَّى  تَطْلُعَ  الشَّمْسُ  ثــُمَّ  صَلّى  رَكْعَتَيْنِ  كَانَتْ لَه كَأَجْرِ  حَجَّةٍ  وَعُمْرَةٍ  تَامَّةٍ  تَامَّةٍ  تَامَّةٍ  )رواه التـرمذي وحسّنه(

Soal     :  Apakah duduk setelah shalat shubuh sampai matahari terbit itu ada fadhilahnya ?
Jawab  :  Ya, ada fadhilahnya, seperti diterangkan dalam kitab IRSYADUL IBAD halaman 20, Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa shalat shubuh dengan berjama’ah, kemudian duduk berdzikir sampai matahari terbit, kemudian shalat dua raka’at, maka baginya seperti pahala ibadah haji dan umroh yang sempurna (HR. TURMUDZI dan Imam TURMUDZI menghasankan haditsnya)

س  : هَلْ يَجُوْزُ  خُرُوْجُ النِّسَاءِ لَيْلاً إِلى  الْمَسْجِدِ  لِلصَّلاَةِ ؟

ج   : نَعَمْ , يَجُوْزُ  خُرُوْجُهَا  كَمَا قَالَ إِبْنُ  عُمَرَ , قَالَ  رَسُوْلُ  اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ : لاَ تَمْنَعُوْا النِّسَاءَ  مِنَ  الْخُرُوْجِ  اِلَى الْمَسْجِدِ  بِاللَّيْلِ  )صَحِيْحُ الْمُسْلِمِ اَلْجُزْءُ اْلأَوَّلُ  ص  ١٨٧(

Soal     : Apakah boleh Wanita keluar malam pergi ke masjid untuk shalat ?
Jawab  : Ya Boleh, sebagaimana Ibnu Umar berkata ; Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah kamu cegah wanita untuk keluar untuk pergi ke masjid pada malam hari”

SUMBER : DIKTAT PELAJARAN ASWAJA MADRASAH ALIYAH NURUL HUDA
Munjul Pesantren Kec. Astanajapura Kabupaten Cirebon 45181 Telp. (0231) 3383635