Oleh Aryudi A Razaq
Pro-kontra soal penambangan emas yang akhir-akhir ini kian menyeruak di Jember. Isu ini membuat PCNU Jember angkat suara. Untuk kedua kalinya, PCNU Jember menolak dengan tegas adanya eksploitasi tambang emas dan mineral logam lainnya.
Seperti diketahui, saat ini Raperda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember gagal disahkan. Pasalnya, Bupati Jember MZA Djalal enggan mengesahkan Raperda tersebut menjadi Perda. Pasalnya, RTRW tersebut tidak memuat item perihal eksploitasi mineral logam di kabupaten Jember. Sedangkan DPRD hanya mengakomodasi ekplorasi mineral logam untuk penelitian dan ilmu pengetahuan. Bukan eksploitasi untuk tujuan bisnis.
Dengan demikian, untuk sementara Jember belum memiliki RTRW. Kalau ini tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin Jember adalah satu-saunya kabupaten atau kota di Indonesia yang tidak memiliki RTRW. Padahal, RTRW merupakan cetak biru tentang rencana pembangunan Jember secara menyeluruh dalam jangka waktu 20 tahun ke depan.
Bersama sejumlah LSM, PCNU Jember dan Kencong menolak Raperda yang saat ini sudah selesai dibahas oleh Panatia Khusus (Pansus) DPRD Jember seperti dimuat Radar pada (16/12/2014). Tahun lalu, saat RTRW tengah digodok, NU Jember juga tegas menolak eksploitasi tambang.
Kali ini lebih keras lagi; PCNU Jember menolak Raperda RTRW. Padahal, hasil voting anggota Pansus Raperda RTRW itu sudah "mengakomodasi" opsi yang menjadi keinginan sebagian besar warga NU, yakni pertambangan dibolehkan hanya sebatas ekplorasi untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan. Artinya, pertambangan untuk tujuan produksi mineral logam (eksploitasi) sudah tidak mendapatkan tempat.
Tidak sampai di situ, PCNU Jember menolak Raperda RTRW yang kini sudah selesai dibahas. Pasalnya, di Raperda RTRW itu masih dicantumkan "kebolehan" dilakukan eksplorasi tambang untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Sikap tegas NU itu tentu saja bukan apriori apalagi dilatarbelakangi oleh tendensi politik. NU mengkhawatirkan ekplorasi tersebut hanya dijadikan batu loncatan atau malah topeng untuk mengadakan eksploitasi secara diam-diam. Kekhawatiran ini tidak terlalu berlebihan. Sebab, bisa jadi yang tercantum di papan nama adalah usaha ekplorasi, namun yang terjadi adalah eksploitasi. Sementara di sisi lain, masyarakat khususnya di sekitar area tambang, tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan antara ekplorasi dan eksploitasi. Sedangkan pemerintah daerah berlaga tidak tahu menahu, dan cenderung membiarkan eksploitasi berlangsung.
Segala kemungkinan bisa terjadi. Jangankan penambangan kelas lokal, penambangan sekelas Freeport yang menjadi perhatian internasional saja, kita masih sering dikibuli. Buktinya, dalam perjalanannya di awal-awal menambang Freeport menyatakan hanya menambang tembaga. Namun setelah didesak, pada tahun 2005 Freeport mengakui juga menambang emas di Papua. Kita tidak tahu berapa tahun mereka berbohong, dan kita tidak paham berapa juta ton emas yang sudah dikeruk secara ilegal.
Sikap tegas NU itu juga bukan karena tidak ingin mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun meningkatkan kesejahteraan warga sekitar area tambang. Namun NU justru ingin melindungi mereka dari kerugian dan penderitaan yang berkepanjangan akibat eksploitasi tambang. Dalam kacamata NU, jika eksploitasi tambang dilakukan, masih lebih banyak menimbulkan mafsadat dibanding mashlahatnya.
Dari beberapa referensi yang kita baca, aktifitas eksploitasi tambang dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan seperti degradasi tanah. Lubang-lubang raksasa yang menganga setelah biji emasnya dikeruk. Hilangnya unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman, berkurangnya debit air permukaan, dan tingginya lalu lintas kendaraan keluar-masuk akses lokasi sehingga menyebabkan jalan mudah rusak, berlubang.
Bayang-bayang kerusakan sudah di depan mata. Sementara kesejahteraan warga masih buram. Fakta menunjukkan, setelah puluhan tahun Freeport beroperasi di Papua justru 80,7 persen penduduknya masih belum beranjak dari kemiskinan. Sebesar 66 persen penduduk miskin Papua adalah penduduk asli yang tinggal di wilayah operasi Freeport, seperti Mimika dan sekitarnya.
Alhasil, warga sekitar penambangan tetap miskin. Sementara pengusaha dan penguasa tambah makmur, bisa dengan mudah memantik manisnya tambang.
Selain itu, eksploitasi tambang juga menimbulkan erosi moral. Aktifitas eksploitasi kerap kali dibarengi dengan transfer budaya. Para pengelola dan pekerja tambang kebanyakan adalah orang pendatang. Mereka bekerja dan berperilaku dengan budayanya sendiri. Lambat atau cepat, prilaku mereka akan menular kepada warga sekitarnya. Multti player effec-nya juga dahsyat. Tidak hanya warung-warung makan yang menjamur, namun warung remang-remang dengan menu “spesial” juga tersedia, terutama bagi pekerja impor.
Dampak-dampak itulah yang diantisipasi sejak dini oleh PCNU Jember dan elemen yang menolak tambang. Tentu pemikiran ini kontradiktif dengan kehendak Pemkab Jember. Bisa dimaklumi jika Bupati Djalal menginginkan RTRW mencamtumkan "kebolehan" eksploitasi mineral logam di kota suwar-suwir ini. Sebagai pimpinan, tentu bupati ingin terus menambah pundi-pundi PAD sebanyak mungkin. Semakin banyak PAD, semakin banyak pula dana yang digelontorkan ke masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan sebagainya.
Itulah sebabnya, lelaki yang gemar bermain motor trail itu, ngotot memasukkan item eksploitasi dalam Raperda RTRW yang diinisiasi oleh eksekutif tersebut. Sedangkan legislatif berkehendak sebaliknya. Mereka mewakili sebagian banyak suara rakyat yang tidak menginginkan adanya penambangan. Dua kehendak yang berseberangan inilah, yang menyebabkan Raperda RTRW tak gagal digodok meski sudah dibahas sejak Mei 2013.
Yang aneh, dalam kondisi mengambang itu ada pihak-pihak yang kurang bijak melontarkan komentar. Segelintir pejabat Pemkab Jember mengungkapkan, tidak ada gunanya kita berdebat mempersoalkan ada atau tidaknya item penambangan dalam RTRW. Sebab, berdasarkan Perppu Nomor 2/2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa kewenangan pemberian izin penambangan sudah diambil alih oleh gubernur.
Komentar ini terkesan menyalahkan logika pihak-pihak yang menentang penambangan. Sebab, memang tidak mungkin ia menyalahkan bupati sebagai atasannya yang menginginkan sebaliknya. Ia ingin mengaburkan persoalan. Lagi pula, kalau tidak ada gunanya berdebat kenapa Bupati Djalal tidak mau mengesahkan Raperda RTRW itu. Toh, tidak ada gunanya.
Sebenarnya, soal siapa yang berwenang memberikan izin penambangan, itu tidak terlalu penting dalam konteks pembahasan RTRW. Yang pasti panitia khusus (Pansus) RTRW adalah wakil rakyat. Sehingga harus mengakomodasi suara rakyat kebanyakan. Minimal, masyarakat masih punya "cantolan" untuk menolak tambang.
Tapi bagaimanapun, kita perlu mengapresiasi keinginan Pemkab Jember untuk menggolkan penambangan asalkan dilandasi oleh niat yang tulus, semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan warga Jember, bukan untuk menambah kemakmuran 18 perusahaan yang sudah terlanjur diberikan izin untuk melakukan aktifitas eksploitasi tambang emas.
Jika Pemkab Jember memang benar-benar nawaitu untuk kesejahteraan rakyat dengan komitmen yang kuat dan pertimbangan yang matang, bukan tidak mungkin NU kelak berbalik arah.
*) Aryudi A Razaq, Kontributor NU Online di Jember Jawa Timur
Sumber: www.nu.or.id