Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Hukum Bersuci dengan Air PAM

Bolehkah Bersuci Memakai Air PAM ?

Air PAM itu Air muthlaq. Jadi boleh bersuci dengan air tersebut. Dalam literatur kutubus salaf dijelaskan, bahwa air mutaghayyir adalah air yang salah satu sifatnya berubah sampai menghilangkan kemutlakan nama air dan hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Kendati demikian, masih ada beberapa hal yang perlu ketegasan terkait keterangan diatas. Diantaranya adalah batasan hilang dan tidaknya sebuah kemutlakan nama air.
Sejauh mana perubahan bisa dikatakan “menghilangkan kemutlakan nama air” ?
Jawab : Sekira ketika air tercampur dengan sesuatu, bentuk perubahannya banyak dan air tidak akan disebut, kecuali dengan sebutan yang mengikat, seperti; air teh, air kuah, air susu, atau semacamnya. Berbeda jika perubahannya sedikit. Sehingga hanya disebut dengan air yang BERBAU SUSU atau bau teh juga berbau KAPORIT.
Referensi:
الأم الجزء 1 صحـ : 21 مكتبة دار المعرفة
( قَالَ ) وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلاَلٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا وَلَمْ يَكُنِ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطِرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ وَإِنْ أُخِذَ مَاءٌ فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيْقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ ِلانَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيْقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوْبٌ اهـ
قرة العين بفتاوى إسمعيل الزين صحـ : 47
فَالْجَوَابُ وَاللهُ الْمُوَفِّقُ لِلصَّوَابِ أَنَّ تَغَيُّرَ اْلمَاءِ بِالْكَدُوْرَاتِ وَنَحْوِهَا مِنَ اْلأَشْيَاءِ الطََّاهِرَةِ لاَ يَسْلُبُ طَهُوْرِيَّتَهُ وَإِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ فَيَبْقَى طَاهِرًا مُطَهِّرًا عَلَى اْلأَصْلِ وَإِذَا عُوْلِجَ بِمَا ذُكِرَ فِي السُؤَالِ مِنَ اْلأَدْوِيَّةِ لِتَصْفِيَّتِهِ كَانَ ذَلِكَ نَوْعَ تَرَفُّهٍ ِلأجْلِ التَنْظِيْفِ لاَ ِلأَجْلِ التَّطْهِيْرِ بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَ تِلْكَ اْلأَدْوِيَةُ غَيْرَ نَجِسَةٍ وَحِيْنَئِذٍ فَيَصِحُّ الْوُضُوْءُ وَسَائِرُ أَنْوَاعِ الطَّهَارَةِ بِالْمَاءِ الْمَذْكُوْرِ قَبْلَ الْمُعَالَجَةِ أَوْ بَعَدَهَا اهـ

Sekelumit Tentang Tafsir Hamdalah

Bagaimana Tafsir atas makna "Pujian" dalam rangkaian kata Alhamdulillah ??

•• Tafsir Hamdalah "sikap saat memuji dan dipuji" ••

Alhamdu-lillahi Rabb al-‘alamin “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-Fatehah : 2)

HAMDU : Menurut bahasa arab berarti “Pujian yang sempurna”

...Pujian kebalikannya celaan, lebih umum artinya ketimbang "syukur" karena syukur atau terima kasih adalah sebuah ungkapan sebagai balasan atas kenikmatan yang telah diterima seperti ungkapan "aku berterima kasih atas kebaikannya" sedangkan pujian bisa terjadi atas dasar sekedar kekaguman semata "aku memuji ketampanannya, ikmunya, pribadinya dll."

Diberi tambahan “Al” berfaedah sebagai “Istighroq lil-jins” artinya mencakup segala jenis pujian yang bila dijabarkan bentuknya ada empat macam :

1. Qodim ‘ala Qodim (Pencipta terhadap Dirinya Sendiri) maksudnya adalah Allah Swt memuji kepada Dirinya Sendiri , hal ini Adalah patut , karena yang pantas sombong hanya Allah Swt semata , makhluk ciptaanya tidaklah pantas menyombongkan diri. Hal ini banyak terdapa dalam Al-Qur’an , terutama saat menerangkan tentang Asmaul Husna .

2. Qodim ‘ala Huduts (Pencipta memuji terhadap makhlukNya) maksudnya adalah Allah memberikan penghargaan atau meningkatkan derajat kepada mahlukNya . Contohnya saat Isro’ Mi’roj Rosululloh Saw . “Innalloha wa malaaikatahu yusolluna alannabiyyi…” ,Artinya “Sesunggahnya Allah SWT dan para malaikatnya menyampaikan salam kepada Nabi (Muhammad SAW)….”

3. Huduts ‘ala Qodim (Mahluk terhadap Pencipta) maksudnya kita sebagai mahluk wajib memuji kepada Allah SWT , Hal ini pasti kita lakukan saat melakukan sholat atau berdoa.Hal ini telah di contohkan oleh Rosululoh saat beliau melihat segala hal yang beliau senangi, beliau selalu mengucapkan hamdalah.

4. Huduts ‘ala Huduts (Makhluk terhadap makhluk) maksudnya kita sebagai mahkluk diperbolehkan untuk memuji atau memberikan penghargaan kepada orang lain sesama makhluk.

Karena di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian.

Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam 3 bentuk :

1.Pujian yang diucapkan untuk menjilat,

2.Pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka,

3.Pujian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi modal positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri. Padahal Allah Swt. mengingatkan dalam firmanNya: "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32).

Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani:

1. Selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari) Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.

2. Menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita miliki. Hal ini bukan berarti kita boleh memelihara sisi gelap tersebut , tapi jadikan sisi terang kita sebagai modal untuk menerangkan hati. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa: “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)

3. Kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa: “Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari). Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw. dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang baik. Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji.

Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw. saat memuji yaitu di antaranya:

1. Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)

2. Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalam bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair)

Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. Dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi Saw. menegurnya: “Kamu telah memenggal leher temanmu.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakar ra.) Senada dengan hadits tersebut, Ali ra. berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”

Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum di tengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.. Toh memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai menjerumuskan orang yang kita puji.

Orang Jawa Keturunan Nabi Ibrahim

Apakah benar orang jawa keturunan dari nabi Ibrahim???

Berdasarkan penyelusuran Genealogy, ada keterkaitan antara Dinasti Majapahit dengan Nabi Ibrahim. Keterkaitan itu, berawal dari kehadiran Dewawarman I, yang merupakan pendiri Kerajaan Salakanagara… Sebagaimana kita ketahui, Dewawarman I berasal dari Dinasti Pallawa di India. Melalui keberadaan Dinasti Pallawa inilah, pada akhirnya penyelusuran genealogy, sampai kepada Nabi Ibrahim… Mari kita ikuti, silsilah berikut…
Silsilah R. Wijaya (Pendiri Majapahit)
01. Raden Wijaya bin
02. Rakeyan Jayadarma bin
03. Prabu Guru Darmasiksa bin
04. Darma Kusuma bin
05. Rakeyan Jayagiri bin
06. Lalang Bumi bin
07. Darmaraja bin
08. (puteri Kahuripan) binti
09. Dharmawangsa Teguh bin
10. Sri Makuta Wangsa Wardhana bin
11. Sri Isyana Tunggawijaya bin
12. Mpu Sindok bin
13. (putera Mpu Daksa) bin
14. Mpu Daksa bin
15. Rakai Watuhumalang bin
16. Pramodawardani binti
17. Samaratungga bin
18. Samaragwira bin
19. Rakai Panangkaran bin
20. Sanjaya bin
21. Brata Senawa bin
22. (Prabu Galuh II) bin
23. Wretikandayun bin
24. (cicit Suryawarman) bin
25. (cucu Suryawarman) bin
26. (puteri Suryawarman) binti
27. Suryawarman bin
28. Candrawarman bin
29. Indrawarman bin
30. Wisnuwarman bin
31. Purnawarman bin
32. Dharmayawarman bin
33. Dewi Minawati (suaminya Dewi Minawati, bernama Jayasingawarman, pendiri kerajaan Tarumanagara) binti
34. Sphatikarnawa Warmandewi binti
35. Dewawarman VII bin
36. Dewawarman VI bin
37. Mahisasura Mardini Warmandewi binti
38. Dewi Tirta Lengkara binti
39. Dewawarman III bin
40. Dewawarman II bin
41. Dewawarman I (menikah dengan puteri Pohaci Larasati binti Aki Tirem bin Ki Srengga bin Nyai Sariti Warawiri binti Sang Aki Bajulpakel bin Aki Dungkul bin Ki Pawang Sawer bin Datuk Pawang Marga bin Ki Bagang bin Datuk Waling bin Datuk Banda bin Nesan)
Berdasarkan penelitian sejarah, Pendiri kerajaan Salakanagara (Dewawarman I), yang merupakan leluhur Raja Majapahit, berasal dari Dinasti Pallawa (Pallava) di India… Beliau datang ke Pulau Jawa, pada sekitar abad pertama masehi, dan memerintah kerajaan Salanagara bersama isterinya Pohaci Larasati, pada tahun (130M-168M)…
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Salakanagara
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat… Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang… Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya…
Dinasti Pallawa :
Berdasarkan tulisan yang berjudul “Origins of the Pallava Dynasty“, Dinasti Pallawa, memiliki keterikatan historis dengan Bangsa Persia dan Dinasti Maurya
The word Pallava meaning branch or twig in Sanskrit is delivered as Tondaiyar in Tamil language… But scholars rebuff this view since it is a later usage of the term and consequently cannot be confirmed to have given rise to the family name Pallava. Some feel that the Pallavas are connected with primordial Pulindas, who were the same as the Kurumbas of Tondamandlam. Tondamandlam was a province under Maurya Emperor Ashoka in third century BCE and was later detained by the Satavahanas and thus Tondamandlam became a feudatory to the Satavahanas After collapse of Satavahanas in about 225 AD, the Pallavas of Tondamandlam became autonomous and prolonged to the Krishna River. There have been several conjectures concerning the origin of the Pallavas. There are certain claims based on historical, anthropological, and linguistic proof signifying that the Pallavas were related to the Pahlavas of Iran. It is probable that a wave of Pahlava/Kambhoja tribes of Indo-Iranian descent migrated Southward and first settled in Krishna river valley of present day coastal Andhra Pradesh… Some scholars think that the Pahlavas migrated from Persia to India and established the Pallava dynasty of Kanchi, whereas, some say that they were immigrants from north, or from Konkan, Tenugu and Anarta into Deccan. They came into south India through Kuntala or Vanvasa….
Source : http://www.indianetzone.com/19/origi…va_dynasty.htm
Dinasti Maurya dan Cyrus II “The Great” :
Salah seorang anggota keluarga Dinasti Maurya yang populer adalah Sundari Maurya of Magadha. Beliau terhitung sebagai salah seorang leluhur dari King George I of England… Silsilah Sundari Maurya sampai kepada Cyrus II ”The Great” adalah…Sundari Maurya of Magadha binti (Princess of Avanti) binti Abhisara IV of Avanti bin Abhisara III of Pancanada bin Abhisara II of Taxila bin Abhisara I of Taxila bin Rodogune Achaemenid of Persia binti Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Artaxerxes I of Persia bin Xerxes I “The Great” of Persia bin Atossa of Persia binti Cyrus II “The Great” of Persia…
Silsilah Sundari Maurya (Magadha) sampai kepada Abhisara II (Taxila)
http://fabpedigree.com/s039/f742968.htm
Silsilah Abhisara II (Taxila) sampai kepada Darius II
http://fabpedigree.com/s080/f943746.htm
Silsilah Darius II sampai kepada Atossa of Persia binti Cyrus II “The Great
http://fabpedigree.com/s012/f559022.htm
Dinasti Maurya sangat indentik dengan keturunan Cyrus II “The Great” di India. Pertemuan kedua keluarga ini, dimulai jauh sebelum masanya Sundari Maurya (sekitar 200 SM). Interaksi antara kedua keluarga ini, diawali oleh pernikahan antara cucu Cyrus II “The Great” yang bernama Candravarnna of Persia binti Atossa of Persia bin Cyrus II “The Great”, dengan Maurya I of Taxila, pada sekitar tahun 500 SM
http://fabpedigree.com/s076/f199897.htm
Cyrus II “The Great” dan Nabi Ibrahim :
Cyrus II “The Great” (590 SM-529 SM), adalah pendiri dinasti Achaemenid. Beliau berhasil mempersatukan dua suku besar bangsa Iran : Media dan Persia. Beberapa ahli sejarah berpendapat, bahwa Cyrus II “The Great” indentik dengan Zulqarnain (QS. Al Kahfi ayat 83-98)
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Cyrus_the_Great_in_the_Qur’an
Melalui penyelusuran genealogy, diperoleh informasi, bahwa Cyrus II “The Great” memiliki hubungan keluarga dengan Nabi IbrahimNabi Ibrahim, berdasarkan catatan ahli genealogy, menurunkan bangsa Media (Madyan), melalui anaknya Midian (Madian) bin Nabi Ibrahim. Bangsa Media (Madyan) merupakan bangsanya Nabi Syu’aib, yang menjadi mertua Nabi Musa… Beberapa catatan Genealogy, yang menghubungkan, Cyrus II ”The Great” dengan Nabi Ibrahim…. Melalui Jalur Pouru Chishti.
Silsilah Atossa of Pesia binti Cyrus II “The Great” sampai kepada Kuras
http://fabpedigree.com/s097/f472176.htm
Silsilah Kuras sampai kepada Pouru Chishti
http://fabpedigree.com/s026/f207564.htm
Silsilah Pouru Chishti sampai kepada Vaedesht
http://fabpedigree.com/s065/f284112.htm
Silsilah Vaedesht sampai kepada Midian bin Nabi Ibrahim
http://fabpedigree.com/s020/f862707.htm
Melalui Jalur Vishtaspa I (suami Pouru Chishti, di dalam catatan genealogy lainnya, suaminya bernama Jamaspa, yang merupakan adik dari Vishtaspa I)
Silsilah Atossa of Pesia binti Cyrus II “The Great” sampai kepada Kuras
http://fabpedigree.com/s097/f472176.htm
Silsilah Kuras sampai kepada Vishtaspa I (adiknya yang bernama Jamaspa)
http://fabpedigree.com/s026/f207564.htm
Silsilah Vishtaspa I (adiknya yang bernama Jamaspa) sampai kepada Kay Apiveh
http://fabpedigree.com/s064/f284112.htm
Silsilah Kay Apiveh sampai kepada Dora Sharoob bin Midian bin Nabi Ibrahim
http://fabpedigree.com/s036/f931343.htm
Nama Nabi Ibrahim (Abraham) di dalam naskah Persia Kuno….
“When the Persians will do such deeds, a man from among the Arabs will be born whose followers shall overthrow and dissolve the kingdom and religion of the Persians. And the arrogant people (Persians) will be subjugated.  Instead of the temple of fire and the house of idols they will see the House of Abraham without any idols as their Qibla… “
Source : http://www.cyberistan.org/islamic/parsi1.html
Bangsa Persia sebagai keturunan Nabi Ibrahim…
Rasulullah Saw bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar suatu kota yang terletak sebagiannya di darat dan sebagiannya di laut? Mereka (para sahabat) menjawab: Pernah wahai Rasulullah. Beliau Saw bersabda: Tidak terjadi hari kiamat, sehingga ia diserang oleh 70.000 orang dari Bani Ishaq…”
[HR. Muslim, Kitabul Fitan wa Asyratus Sa’ah]
Siapakah yang dimaksud dengan Bani Ishaq pada riwayat di atas ? Bani Ishaq adalah keturunan Al Aish bin Ishaq bin Ibrahim as. Pendapat ini dipilih oleh Al Hafidz Ibnu Katsir. [An Nihayah fil Fitan Wal Malahim].  Keturunan Aish ini, menyebar di wilayah Khurasan (Afghanistan, Pakistan, Kashmir, Iraq dan Iran). Imam Nawawi dalam syarahnya tentang 70 ribu Bani Ishaq berpendapat bahwa, “Penduduk (Farisi) Persia adalah orang-orang yang dimaksud dengan keturunan Ishaq”. Al-Mas’udi dalam kitabnya yang berjudul Muruj adz-Dzahab berpendapat, “Orang-orang yang mengerti tentang jalur-jalur nasab orang Arab dan para hukama menetapkan bahwa asal-usul orang Persia adalah dan keturunan Ishaq putra Nabi Ibrahim“.

Apakah Semua Bid'ah itu dilarang?

Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”

Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya:
1.Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi saw. : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.